Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi syarat pendidikan minimal strata satu (S1) untuk calon presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya mengatur minimal lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau setara. MK menilai penambahan syarat pendidikan minimal S1 justru berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara yang memenuhi syarat lain untuk mencalonkan diri dalam pilpres. Dalam keputusan nomor 87/PUU-XXIII/2025, MK menegaskan bahwa ketentuan pendidikan minimal SMA telah sesuai dengan mandat UUD 1945 dan tidak perlu diinterpretasikan lebih tinggi. alam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa penambahan syarat pendidikan akan mempersempit ruang partisipasi politik warga negara. Konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih tanpa adanya diskriminasi berbasis latar belakang pendidikan. Dengan demikian, syarat tambahan seperti ijazah sarjana dianggap melampaui ketentuan yang diatur dalam UUD 1945.
Permohonan diajukan oleh Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani. Para Pemohon meminta agar syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden dinaikkan dari minimal tamat pendidikan menengah (SMA atau sederajat) menjadi minimal sarjana strata satu (S-1).
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Meskipun Mahkamah berpendirian tidak terdapat persoalan atau masalah konstitusionalitas norma berkenaan dengan persyaratan batas minimum pendidikan calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana diatur Pasal 169 huruf r UU 7/2017 karena Pasal 6 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak menentukan batasan pendidikan paling rendah/minimum bagi calon presiden dan calon wakil presiden, pembentuk undang-undang berdasarkan delegasi Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 berhak mengaturnya dan termasuk sewaktu-waktu dapat mengubah norma pasal tersebut guna disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada.