Presiden Prabowo Subianto akhirnya melakukan reshuffle kabinet untuk kedua kalinya pada 8 September 2025. Sebelumnya Prabowo mereshuffle Satryo S. Brodjonegoro (Mendiktisaintek) yang digantikan oleh Brian Yuliarto Guru Besar ITB pada 19 Februari 2025.
Resfuffle yang kedua ini menyasar lima pos kementerian yaitu Menteri Budi Gunawan (Menkopolkam), Sri Mulyani (Menkeu), Abdul Kadir Karding (Menteri PPMI), Budi Arie Setiadi (Menteri Koperasi), dan Dito Ariotedjo (Menpora).
Reshuffle ini sepenuhnya belum menjawab dahaga publik terhadap kinerja kabinet yang jauh dari harapan. Anggota kabinet lainnya yang memiliki kinerja buruk masih belum tersentuh reshuffle yang juga seharusnya didahulukan.
Menarik mencermati hasil survey Lembaga Survey Indonesia Social Survey (ISS) terkait kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Prabowo. Sebanyak 78 persen responden menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo.
Tingginya kepuasan publik ini tidak diiringi oleh realitas hasil kinerja pemerintahan di lapangan. Secara bersamaan terjadi penuruan daya beli masyarakat, lapangan kerja yang terbatas, meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok, penerapan pajak yang memberatkan masyarakat hingga munculnya PHK secara masif.
Pertanyaan besar menyeruak, mengapa Presiden tidak sepenuhnya mendengar suara publik atas banyaknya pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh pembantu-pembantunya?
Mengapa Presiden tidak mereshuffle menteri yang berkinerja buruk dan gagal menjalankan tugasnya? Wajar kemudian publik menilai presiden melakukan reshuffle secara tebang pilih. Bahkan lebih jauh sangat lekat dengan tawar menawar politik antar koalisi partai pendukung pemerintah.
Hak prerogatif Presiden
Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan harus sadar bahwa ia memiliki hak prerogatif secara penuh terhadap menteri-menterinya. UUD 1945 secara eksplisit sangat jelas menyatakan kekuasaan pemerintahan di tangan Presiden.
Dengan kekuasaan pemerintahan itu Presiden berhak membentuk pemerintahan dengan mengangkat dan memberhentikan menteri yang diinginkannya kapanpun. Memberhentikan menterinya dengan pertimbangan kinerja ataupun pertimbangan politik.
Hak prerogatif merupakan hak istimewa yang dimiliki Presiden sebagai kepala pemerintahan, dapat dijalankan langsung oleh Presiden tanpa harus mendapatkan persetujuan lembaga negara lain.
Dengan begitu besarnya hak yang dimiliki Presiden, seharusnya Presiden lebih leluasa menjalankan haknya tanpa harus terpengaruh oleh kekuatan lain untuk mengangkat atau memberhentikan menteri-menterinya itu.
Pada masa kampanye pilpres lalu secara gamblang Prabowo menyatakan akan membentuk pemerintahan berisi para ahli dan professional. Prabowo berkeinginan kabinetnya kelak bukan semata-mata berdasarkan bagi-bagi kursi politik semata.
Data menunjukkan Kabinet Merah Putih diisi oleh 24 orang profesional (ahli, tekonokrat), dan 29 orang politisi (berasal dari partai). Dengan total seluruh anggota kabinet (termasuk menteri, kepala lembaga, dan wakil menteri) mayoritas ternyata adalah politisi. Angka ini menunjukkan realitas politik begitu kentalnya pengaruh partai dalam pemerintahan Presiden Prabowo.
Sejak awal memang tampak kekhawatiran pada Prabowo jika tidak melibatkan banyak partai politik dalam kabinetnya. Presiden Prabowo bahkan menerima, baik karena meminta atau diminta, partai politik pengusung Anies – Muhaimin dan Ganjar – Mahfud saat Pilpres lalu untuk masuk dalam kabinet.
Ihwal ini tentu mudah dimengerti, Prabowo ingin pemerintahannya ‘nyaman’ dengan didukung oleh sebanyak-banyaknya partai politik sekalipun berseteru saat Pilpres. Tentu saja situasi ini membuat keberadaan oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan menjadi kian tergerus.
Dalam membentuk kabinet, Presiden Prabowo sudah seharusnya mempertimbangkan kepentingan rakyat. Pengangkatan menteri Kabinet Merah Putih yang hampir setahun ini hanya berupaya memenuhi dahaga kekuasaan partai politik.
Termasuk dengan mempertahankan anggota kabinet yang jelas-jelas berkinerja buruk, bahkan terkesan tidak sejalan dengan Presiden harusnya menjadi perhatian Presiden untuk direshuffle.
Publik seolah sedang dipertontonkan festivalisasi para elit dalam bagi-bagi kekuasaan. Ketidakcakapan menteri telah membuang-buang waktu pemerintahan Prabowo sementara di sisi lain rakyat harap-harap cemas menunggu kinerja menteri dalam melakukan perbaikan di saat ketimpangan yang sedang terjadi di depan mata.
Oleh karena itu, sudah seharusnya presiden Prabowo mengevaluasi secara besar-besaran menteri dan wakil menteri yang tidak perform. Dan mengutamakan kalangan yang memiliki keahlian dan latar belakang sesuai kemampuannya dan bekerja untuk bangsa dan negara.
Buruknya kinerja pemerintahan tak terlepas dari buruknya kinerja anggota kabinet. Secara otomatis buruknya kinerja kabinet akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, turunnya legitimasi presiden/pemerintahan hingga instabilitas politik yang tidak kita inginkan.
Sistem presidensial atau parlementer?
Perubahan UUD 1945 menegaskan diterapkannya sistem pemerintahan presidensialisme. Jaminan konstitusi ini seharusnya membuat Presiden tidak usah khawatir terhadap reshuffle yang akan dilakukan. UUD menjamin Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan untuk mengangkat dan memberhentian menteri-menterinya yang tidak cakap.
Pemilihan Presiden langsung membuat legitimasi-kuasa presiden dari rakyat. Kepada rakyatlah Presiden mempertanggungjawabkan kekuasaan atas mandat yang telah diberikan. Sehingga pembentukan kabinet haruslah sebesar-besarnya untuk rakyat dan kemakmuran rakyat.
Selama ini yang terjadi ialah Presiden selalu dihantui akan terjadinya instabilitas politik jika kader partai yang terkena reshuffle atau sama sekali tidak mendapat porsi di kabinet. Kekhawatiran ini amat berlebihan, koalisi partai di pemerintahan bukan sebagai sumber kekuasaan Presiden itu berasal, seperti halnya pada sistem pemerintahan parlementer.
Kalaupun koalisi pemerintahan tidak mendapatkan suara mayoritas di DPR, dalam situasi terburuk, tidak serta merta terjadi konsolidasi di parlemen untuk menjatuhkan presiden melalui sebuah mekanisme pemakzulan (impeachment).
Sistem pemerintahan presidensial membawa konsekwensi ketatanegaraan dimana terdapat pemberlakuan masa jabatan tetap (fix term) bagi Presiden dan Wakil Presiden. Implikasi ini membuat Presiden dan Wakil Presiden tidak mudah dijatuhkan bila dibandingkan dengan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan pada sistem parlementer.
Mosi tidak percaya (motion of no confidence) dapat diajukan kapan saja oleh parlemen jika Perdana Menteri berkinerja buruk atau karena alasan politik. Berbeda dengan itu, untuk menjatuhkan seorang presiden pada sistem pemerintahan presidensial membutuhkan proses yang panjang dan berliku. Presiden hanya dapat diberhentikan apabila terbukti melanggar pasal-pasal pemakzulan (impeachment article[s]) yang diatur dalam konstitusi.
UUD 1945 sendiri mengatur mekanisme pemakzulan yang melibatkan DPR, MK dan MPR. Presiden dapat dijatuhkan bilamana terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela, atau tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai Presiden.
Sistem politik yang selama ini terbangun, dukungan sebuah partai di DPR harus ter-refkleksikan dari adanya kader partai yang menjadi anggota kabinet pemerintahan. Disadari atau tidak, situasi ini justru menggerus prinsip-prinsip presidensialisme yang dicita-citakan UUD 1945.
Keinginan untuk memunculkan mekanisme checks and balances justru terkikis oleh iklim bagi-bagi kursi yang kemudian membuat presiden terjebak sendiri dalam situasi ini.
Selama ini, bahkan sejak era pemerintahan SBY-JK, presiden kesulitan dalam melakukan pembentukan kabinet. Walau berulang kali digaungkan bahwa membentuk kabinet hak prerogatif Presiden namun aroma intervensi parpol sangat menyengat.
Bahkan saat akan adanya reshuffle, Presiden juga harus berhitung bagaimana kekuatan kader partai tersebut di parlemen dan bagaimana implikasinya terhadap pemerintahan.
Situasi ini membuat bias atas sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem pemerintahan presidensial yang ingin diterapkan UUD 1945 tanpa disadari justru berubah arah menjadi sistem pemerintahan parlementer seiring begitu kuatnya intervensi partai dalam membentuk kabinet dan juga ketika Presiden akan dan mereshuffle kabinet.
Pada akhirnya Presiden Prabowo harus menjadikan UUD 1945 sebagai landasannya menjalankan pemerintahan. Legitimasi yang didapatkan dari rakyat akan menjadi kekuatan utama bagi Presiden dalam membentuk pemerintahan termasuk namun tidak terbatas pada mengangkat dan memberhentikan menteri.
Kekuasaan pemerintahan yang dimiliki Presiden harus dijalankan sebesar-besarnya dan seluas-luasnya menuju cita-cita bangsa Indonesia merdeka demi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkeadilan sosial.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara FH Ubhara Jaya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (PUSHARDEM)

Dosen Hukum Tata Negara FH Ubhara Jaya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (PUSHARDEM)