Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Tahun 2025 menekankan pentingnya kritik bagi pemerintah meskipun kritikan itu terkadang menyesakkan. Dalam pidatonya, Prabowo mengatakan, “Jangan berhenti memberikan kritik sekalipun menyesakkan,” sebagai bagian dari proses koreksi dan pengawasan demi tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia.
Prabowo mengajak semua elemen masyarakat, termasuk partai politik pendukung pemerintah, untuk berani memberikan kritik sebagai bentuk kontrol dan pengawasan. Ia menegaskan bahwa keberanian memberikan kritik harus terus dijaga agar tidak ada pihak yang merasa kebal hukum dan semua harus tetap bertanggung jawab.
Pernyataan Prabowo ini juga menjadi momentum untuk mengingatkan perlunya menjaga kebebasan berekspresi dan kritik sebagai penopang demokrasi yang sehat. Meskipun kritik terkadang menyakitkan, hal tersebut merupakan bukti berfungsinya kontrol sosial dan check and balances di negara demokrasi.
Akan tetapi, pernyataan Prabowo menimbulkan kontradiksi terkait dengan pernyataan beliau terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada beberapa bulan sebelumnya. Iabmenyatakan adanya indikasi LSM tertentu yang mendapat pembiayaan dari pihak asing dengan tujuan mengganggu persatuan bangsa dan mendiskreditkan pemerintah. Pernyataan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan sipil dan LSM.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari lembaga seperti IMPARSIAL, PBHI, WALHI, HRWG, DeJuRe, Centra Initiative, SETARA Institute, dan Raksha Initiatives menyesalkan pernyataan impulsif Prabowo yang menuduh LSM sebagai pengadu domba. Koalisi ini menegaskan bahwa LSM justru merupakan pilar penting yang memastikan sistem check and balances dalam pemerintahan dan demokrasi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa musuh utama bangsa ini bukan LSM yang mendapat pendanaan asing, melainkan para elite yang melakukan korupsi dan merusak institusi demokrasi. Ia mengingatkan bahwa pendanaan asing dalam demokrasi modern adalah hal lumrah dan harus dikelola secara transparan, bukan menjadi alasan untuk melemahkan LSM dan membatasi ruang kebebasan berekspresi.
Indeks kebebasan berpendapat di Indonesia, berdasarkan laporan Freedom House tahun 2024 dan Laporan World Press Freedom Index dari Reporters Without Borders, menunjukkan peringkat Indonesia yang stabil di kelas “partly free” dengan skor sekitar 56 dari 100 pada Freedom House dan peringkat 115 dari 180 negara pada World Press Freedom Index. Indeks ini menunjukkan adanya kemajuan, tetapi juga tantangan signifikan, khususnya pembatasan terhadap jurnalis dan aktivis serta penyebaran disinformasi.
Sumber
https://www.tempo.co/politik/prabowo-jangan-berhenti-mengkritik-meski-kadang-menyesakkan–2059228