Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar perundingan kelima terkait Perjanjian Polusi Plastik Global (INC-5.2) di Jenewa, Swiss, pada 5 hingga 14 Agustus 2025. Perundingan ini bertujuan menyusun suatu “Treaty” yang mengikat secara hukum untuk mengatasi krisis polusi plastik dunia. Namun, hingga saat ini pembicaraan masih mengalami kebuntuan terutama terkait regulasi produksi plastik primer yang menjadi titik konflik utama antara negara-negara peserta.
Negosiator dari lebih 175 negara hadir dalam pertemuan ini. Negara-negara produsen minyak dan plastik seperti Rusia, Iran, dan Arab Saudi menolak pembatasan ketat produksi plastik karena dianggap merugikan industri dan perekonomian mereka. Sebaliknya, negara-negara konsumen dan terdampak serius polusi plastik terutama dari Eropa, Amerika Latin, dan beberapa negara berkembang mendesak pengurangan produksi plastik di hulu rantai pasok.
Kilas balik menunjukkan perhatian dunia terhadap polusi plastik meningkat sejak dekade terakhir, menyusul bukti ilmiah yang mengungkap dampak buruk mikroplastik dan limbah plastik terhadap ekosistem laut, kesehatan manusia, dan perekonomian global. Konvensi internasional terdahulu seperti Basel Convention yang mengatur limbah berbahaya belum mampu mengendalikan polusi plastik secara nasional dan global secara efektif sehingga kebutuhan akan perjanjian yang kuat dan mengikat semakin mendesak.
Direktur Eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP), Inger Andersen, membuka perundingan dengan menegaskan perlunya kerja keras kolektif untuk mencapai konsensus final dan mengakhiri polusi plastik. Ia mengingatkan bahwa waktu terus berjalan dan polusi plastik akan semakin memburuk jika tidak ada keputusan yang tegas dari negara-negara peserta.
Organisasi lingkungan seperti WWF mendesak negara-negara peserta agar segera menghasilkan komitmen mengikat demi mengatasi krisis ini. Menurut WWF, kegagalan mencapai konsensus hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia yang sudah berpotensi mengancam generasi mendatang. WWF menyoroti juga adanya tekanan dari negara-negara produsen minyak yang menggunakan mekanisme konsensus untuk menghambat kesepakatan global.
Laporan ilmiah terbaru, termasuk studi dari Universitas Birmingham, menguatkan urgensi perjanjian dengan bukti risiko kesehatan dari mikro dan nanoplastik serta bahan kimia aditif plastik. Dampaknya meliputi gangguan hormonal, kanker, penurunan kesuburan, dan penyakit pernapasan kronis. Para ahli menganjurkan penerapan prinsip kehati-hatian mengambil tindakan berdasarkan indikasi risiko meski bukti ilmiah belum sempurna seperti yang pernah diterapkan dalam Protokol Montreal soal ozon.
Dalam negosiasi, industri plastik dan kimia mengedepankan pendekatan yang menitikberatkan pada solusi pengelolaan limbah dan inovasi teknologi daur ulang daripada pembatasan produksi. Namun, para ahli lingkungan dan negara-negara terdampak menilai pendekatan ini tak cukup, mengingat produksi plastik baru terus meningkat pesat tiap tahun.
Dinamika negosiasi juga dipengaruhi lobi intensif berbagai pihak, dan isu transparansi menjadi perhatian agar kesepakatan yang dihasilkan benar-benar mewakili kepentingan publik serta planet bumi. Koordinasi dan kompromi menjadi kunci dalam merumuskan target pengurangan produksi dan konsumsi plastik, khususnya plastik sekali pakai dan mikroplastik, yang harus terukur dan dapat diimplementasikan secara global.
Skema dukungan finansial untuk negara berkembang diajukan Uni Eropa sebagai insentif agar negara-negara tersebut dapat berkomitmen mengurangi produksi plastik dengan dukungan teknologi bersih. Hal ini mencerminkan upaya agar perjanjian mengandung aspek keadilan lingkungan dan tidak memberatkan negara berkembang yang masih berjuang membangun ekonomi berkelanjutan.
Proses perundingan ini memiliki potensi menetapkan tonggak sejarah dalam pengelolaan polusi plastik global, menyerupai keberhasilan Protokol Montreal yang berhasil mengurangi emisi pengurai ozon. Keberhasilan ini memerlukan kesepakatan politik lintas negara serta implementasi yang konsisten dan berkelanjutan dari seluruh negara anggota PBB.
Jika tercapai, perjanjian ini akan mewajibkan negara-negara mengurangi produksi plastik baru, mengelola limbah plastik dengan lebih baik, dan mengawasi rantai pasok plastik agar berkelanjutan, sekaligus melindungi lingkungan dan kesehatan manusia dari dampak bahan kimia berbahaya. Negara berkembang diharapkan mendapatkan mekanisme dukungan yang adil dan proporsional untuk mencapai tujuan tersebut.
Tantangan terbesar saat ini adalah mencapai konsensus sebab sistem pengambilan keputusan di PBB berdasarkan musyawarah. Sejumlah negara kunci menggunakan hak veto untuk menghambat kesepakatan. Kondisi ini menciptakan risiko stagnasi dan memberi ruang bagi para pengamat untuk skeptis terkait kemungkinan tercapainya hasil konkret pada putaran ini.
Perundingan juga didominasi oleh perdebatan tak hanya di ruang resmi, melainkan lobi di luar ruangan yang melibatkan aktor pemerintah, industri, dan masyarakat sipil. Ada desakan agar proses negosiasi transparan dan inklusif agar hasilnya benar-benar mewakili kepentingan umum dan planet, bukan hanya kepentingan sempit pihak tertentu.
Pihak Indonesia lewat Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan komitmennya mendorong perjanjian berbasis keadilan lingkungan dan transformasi sistem produksi plastik yang bertanggung jawab dari hulu ke hilir. Indonesia menargetkan pengelolaan sampah plastik 100% pada 2029 dan melihat perjanjian plastik global ini sebagai instrumen strategis mendukung tujuan nasional tersebut.
Sumber