Menanggapi pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memberikan tanggapan kritis. Menurutnya, tidak seharusnya seorang pejabat pemerintah, terutama yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia, membuat pernyataan yang keliru mengenai isu sepenting hak asasi manusia. Usman menekankan bahwa pemahaman yang benar terhadap hukum, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, sangat penting bagi pejabat yang memiliki otoritas di bidang legislasi HAM.
Usman merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut undang-undang tersebut, pelanggaran HAM berat tidak terbatas hanya pada genosida atau pembersihan etnis, sebagaimana yang mungkin diimplikasikan dalam pernyataan Menko Yusril. Sebaliknya, pelanggaran HAM berat mencakup berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan, atau yang dikenal sebagai crimes against humanity, yang melibatkan tindakan-tindakan brutal dan sistematis terhadap penduduk sipil.
Lebih jauh, Usman menyoroti bahwa pernyataan Yusril tersebut mengabaikan hasil-hasil dari berbagai penyelidikan resmi yang telah dilakukan oleh pemerintah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Berdasarkan laporan tim pencari fakta gabungan yang dibentuk pemerintah serta penyelidikan pro-justisia Komnas HAM, ditemukan bahwa sejumlah peristiwa di masa lalu memang memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat. Hasil penyelidikan ini bukanlah sesuatu yang dapat diperdebatkan secara sembarangan, kecuali melalui proses peradilan yang transparan dan adil. Hingga saat ini, hasil tersebut telah diserahkan kepada Jaksa Agung, dan menjadi landasan hukum yang kuat yang memerlukan tindak lanjut berupa pengadilan ad hoc sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 43 UU Pengadilan HAM. Sayangnya, sampai saat ini belum ada usulan dari DPR ataupun keputusan dari Presiden untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut di tingkat pengadilan ad hoc.
Usman juga menekankan bahwa pernyataan Yusril tidak hanya keliru dari sudut pandang historis dan hukum, tetapi juga mencerminkan kurangnya empati terhadap para korban yang telah bertahun-tahun mencari keadilan. Peristiwa pelanggaran HAM berat, seperti yang terjadi pada Tragedi Mei 1998, menimbulkan dampak traumatis yang mendalam bagi para korban dan keluarga mereka. Pada peristiwa tersebut, kekerasan massal, pembunuhan, dan pemerkosaan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa, meninggalkan luka yang masih dirasakan hingga kini. Banyak keluarga masih mencari keadilan atas hilangnya orang-orang yang mereka cintai dalam peristiwa tersebut.
Lebih ironis lagi, pernyataan tersebut disampaikan oleh Yusril pada hari kerja pertamanya sebagai Menteri Koordinator. Hal ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa pemerintahan baru mungkin akan mengaburkan tanggung jawab negara dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Meskipun pemerintah sebelumnya sempat menyangkal adanya pelanggaran, pada akhirnya mereka mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi Mei 1998. Namun, pernyataan Yusril mengindikasikan bahwa komitmen untuk menegakkan keadilan bagi para korban mungkin masih jauh dari harapan.
Menanggapi pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, mengenai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, memberikan tanggapan yang tegas. Menurut Usman, pernyataan tersebut menimbulkan kekeliruan serius, terutama mengingat jabatan Yusril yang berkaitan erat dengan bidang legislasi hak asasi manusia. Usman menggarisbawahi bahwa penentuan apakah suatu peristiwa termasuk pelanggaran HAM berat bukanlah wewenang presiden atau menteri, tetapi merupakan keputusan yang harus diambil oleh pengadilan HAM, dengan langkah awal penilaian oleh Komnas HAM. Oleh karena itu, Komnas HAM diharapkan segera merespons dan menegaskan pernyataan Yusril yang dianggap tidak tepat, serta mendesak penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998.
Pernyataan kontroversial tersebut diungkapkan oleh Yusril pada hari pelantikannya sebagai Menko Hukum dan HAM di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 21 Oktober 2024. Yusril mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir tidak ada kejadian yang tergolong sebagai pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ia juga menyebutkan bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1998 tidak termasuk dalam kategori tersebut. Menurut Yusril, pelanggaran HAM berat seperti genosida, pembunuhan massal, atau pembersihan etnis tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, melainkan lebih mungkin terjadi pada masa penjajahan atau awal kemerdekaan. Ketika ditanya oleh wartawan apakah kerusuhan Mei 1998 termasuk pelanggaran HAM berat, Yusril dengan tegas menjawab “tidak.”
Kerusuhan Mei 1998, yang terjadi pada 13-15 Mei, merupakan salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia. Tragedi tersebut meninggalkan luka mendalam bagi bangsa, di mana banyak nyawa melayang, dan kekerasan meluas di berbagai kota, khususnya Jakarta. Untuk menyelidiki peristiwa ini, Presiden B. J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 23 Juli 1998, yang terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, dan berbagai organisasi masyarakat. TGPF menghabiskan waktu tiga bulan untuk mengumpulkan data dan bukti, dan pada 23 Oktober 1998, mereka merilis laporan akhir.
Laporan TGPF mengungkapkan kesulitan dalam memastikan jumlah pasti korban dan kerugian yang ditimbulkan oleh kerusuhan tersebut. Namun, berdasarkan data yang dikumpulkan, jumlah korban jiwa di Jakarta berkisar antara 451 hingga 1.217 orang, tergantung dari sumber yang berbeda, seperti Tim Relawan, Polda Metro Jaya, dan Kodam Jaya. Selain korban jiwa, laporan juga mencatat banyak korban luka-luka serta kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, terutama dari etnis Tionghoa. Setidaknya 52 perempuan menjadi korban perkosaan, sementara yang lain mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, TGPF memberikan delapan rekomendasi, salah satunya adalah pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justicia oleh Komnas HAM. Pada tahun 2003, tim ini menyimpulkan bahwa terdapat cukup bukti permulaan yang menunjukkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam kerusuhan Mei 1998. Kejahatan ini, yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang melibatkan pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan diskriminasi sistematis.
Penjelasan mengenai pelanggaran HAM berat juga tercantum dalam Pasal 104 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mendefinisikan pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, hukum internasional, sebagaimana dinyatakan dalam Statuta Roma, mengakui kejahatan-kejahatan serius lainnya seperti kejahatan perang dan agresi, yang juga harus menjadi perhatian dalam konteks pelanggaran HAM.
Pernyataan Yusril tidak hanya mengabaikan hasil penyelidikan resmi oleh TGPF dan Komnas HAM, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap kewajiban negara dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat. Menurut Pelapor Khusus PBB untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi, negara memiliki tanggung jawab hukum internasional untuk menyelidiki, mengadili, dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Komite HAM PBB juga menegaskan bahwa kewajiban ini merupakan bagian dari hak korban atas ganti rugi yang efektif, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).