Pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024–2029, tak hanya menandai era baru pemerintahan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan konstitusional yang belum pernah terjadi sebelumnya: bisakah seorang wakil presiden yang dilantik melalui proses yang ditengarai cacat etika, bahkan diduga menyimpang secara prosedural, dimakzulkan?
Pertanyaan ini mengemuka bukan semata karena Gibran adalah putra Presiden Joko Widodo, tetapi karena proses hukum yang mengantarkannya ke posisi nomor dua di negeri ini dianggap cacat etika oleh lembaga tertinggi pengawal konstitusi itu sendiri. Dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tanggal 7 November 2023, Ketua MK kala itu, Anwar Usman yang juga paman Gibran dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat karena membuka jalan bagi keponakannya untuk maju sebagai calon wakil presiden melalui perubahan syarat usia dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Publik bertanya-tanya, apakah hasil dari proses yang disimpulkan cacat etika bisa menjadi dasar untuk mempersoalkan keabsahan jabatannya sekarang? Lebih jauh, bisakah Gibran dimakzulkan melalui jalur hukum dan konstitusi?
Jalan Terjal Pemakzulan
Pemakzulan (impeachment) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukanlah hal sepele. Ia adalah jalur konstitusional yang sangat dijaga, dibatasi, dan dilindungi dari potensi penyalahgunaan politik. Hal ini tercermin dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 7A menyatakan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Pasal ini menjadi pagar yang sangat kuat: pemakzulan hanya dapat dilakukan jika ada pelanggaran hukum yang jelas, dan tidak sekadar berdasar sentimen atau opini publik.
Secara prosedural, jalur pemakzulan dimulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang mengajukan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, sebelum itu, DPR harus lebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian atas dugaan pelanggaran oleh presiden atau wakil presiden. Bila MK menyatakan bahwa Presiden/Wapres terbukti melanggar, barulah MPR menggelar sidang untuk memutuskan pemberhentian.
Dengan mekanisme ini, jelas bahwa pemakzulan adalah jalan hukum yang panjang dan kompleks, 1bukan semata-mata karena sulit secara teknis, tetapi karena pemakzulan adalah tindakan luar biasa terhadap jabatan yang sah secara demokratis.
Pertanyaannya kini, apakah pelanggaran etik dalam proses pencalonan yang dilakukan oleh pihak ketiga, yakni Hakim Konstitusi cukup kuat untuk dijadikan dasar pemakzulan Gibran?
UUD 1945 mensyaratkan pelanggaran hukum, bukan sekadar pelanggaran etik. Dalam kasus Gibran, MKMK tidak menyatakan bahwa Gibran melakukan pelanggaran hukum, tetapi bahwa pamannya, Ketua MK waktu itu, melanggar kode etik berat. Gibran secara hukum tetap dinyatakan sah sebagai calon wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tidak pernah didiskualifikasi oleh lembaga peradilan manapun.
Namun, jika suatu hari terdapat bukti kuat bahwa Gibran terlibat secara aktif dan sadar dalam mempengaruhi putusan MK, baik melalui tekanan kekuasaan, kolusi keluarga, atau pengaturan jalur komunikasi dengan hakim maka jalur hukum terbuka. Dalam konteks ini, dapat masuk dalam kategori penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan berat, bahkan obstruction of justice.
Sayangnya, hingga kini, belum ada penyelidikan mendalam oleh DPR atau lembaga hukum lain yang membuka kemungkinan tersebut secara terbuka. Tanpa penyelidikan resmi dan bukti permulaan, wacana pemakzulan hanya akan tinggal di ranah opini politik, bukan argumen hukum.
Peran DPR dan MK: Antara Politik dan Konstitusi
Masalah berikutnya terletak pada politik. Pemakzulan tak hanya membutuhkan landasan hukum yang kuat, tetapi juga dukungan politik di parlemen. Mengingat partai-partai pengusung Gibran dan Presiden terpilih memegang mayoritas kursi DPR dan MPR, sulit dibayangkan ada kekuatan politik yang secara serius ingin mengajukan pemakzulan dalam waktu dekat.
Situasi ini membawa kita pada dilema etis: ketika mekanisme hukum bisa dikunci oleh kepentingan politik mayoritas, siapa yang akan menjaga semangat konstitusi?
Di sinilah Mahkamah Konstitusi dan masyarakat sipil punya peran penting. MK semestinya tak cukup berhenti pada pembacaan etik oleh MKMK, tetapi perlu terbuka dalam meninjau kembali putusan yang bermasalah jika ditemukan pelanggaran lebih lanjut. Di sisi lain, masyarakat sipil dan komunitas akademik hukum tidak boleh berhenti bertanya, mengawasi, dan mendesak pertanggungjawaban politik maupun moral atas proses yang tidak sehat ini.
Konstitusi bisa membungkam langkah hukum pemakzulan, tetapi tak dapat menghentikan pertanyaan moral dan publik. Gibran bisa saja sah secara legal, tetapi tetap menjadi simbol dari proses demokrasi yang dituding rusak sejak awal. Ini menjadi beban sejarah, bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi generasi kepemimpinan ke depan.
Apakah bangsa ini akan menerima lahirnya pemimpin dari proses yang tidak transparan dan cacat etika? Atau sebaliknya, bangsa ini akan menuntut akuntabilitas moral meski jalan hukum pemakzulan begitu terjal?
Ini bukan hanya soal Gibran, tetapi tentang masa depan demokrasi konstitusional kita. Apakah kekuasaan bisa diwariskan melalui celah hukum dan kompromi etika? Ataukah bangsa ini masih menyisakan ruang untuk koreksi, refleksi, dan pembelajaran?
Pemakzulan Gibran secara hukum memang tidak mudah, dan saat ini tidak memiliki dasar kuat yang dapat dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Namun, bukan berarti mustahil jika suatu hari bukti-bukti baru mengarah pada pelanggaran hukum yang serius.
Sampai hari itu tiba atau tidak pernah tiba, maka jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah menghidupkan kembali nalar publik, akal sehat hukum, dan kontrol etis terhadap kekuasaan. Karena demokrasi bukan hanya soal legitimasi elektoral, tetapi juga soal integritas proses dan penghormatan terhadap konstitusi.