Keputusan Presiden Joko Widodo yang menetapkan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional menuai respons beragam di tengah masyarakat. Dari sisi hukum, keputusan ini dinilai sah secara yuridis, namun menimbulkan polemik dari sudut pandang hak asasi manusia dan keadilan sejarah.
Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam Pasal 26 ayat (1), gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada warga negara yang telah meninggal dunia dan memiliki jasa luar biasa terhadap bangsa dan negara.
Namun, hal ini memicu kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat, terutama kelompok pegiat HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM masa Orde Baru.
Menanggapi polemik tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos) memberikan klarifikasi resmi. Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Menteri Sosial menyatakan bahwa proses penetapan telah melalui tahapan seleksi ketat, termasuk pertimbangan dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Kami mempertimbangkan jasa besar Soeharto dalam pembangunan nasional, stabilitas politik, serta pencapaian swasembada pangan yang menjadikan Indonesia dikenal dunia,” ujar Menteri Sosial.
Menteri Sosial juga menegaskan bahwa keputusan ini bukan bentuk pengabaian terhadap isu pelanggaran HAM, melainkan pengakuan atas kontribusi besar dalam sektor pembangunan dan ketahanan nasional. Ia menambahkan bahwa urusan pelanggaran HAM tetap menjadi ranah lembaga penegak hukum dan Komnas HAM, bukan ranah pertimbangan gelar kehormatan.
Namun demikian, aktivis HAM menilai bahwa penetapan ini dapat menciptakan preseden buruk dalam penghargaan negara. Direktur KontraS, Yati Andriyani, menyatakan bahwa pemerintah belum menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi semasa Soeharto berkuasa.
Pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Zainal Arifin, menyoroti bahwa meskipun secara hukum formal keputusan presiden sah, namun aspek legitimasi moral tetap dipertanyakan.
“Gelar pahlawan seharusnya mencerminkan nilai keadilan dan kebenaran sejarah. Jika tidak hati-hati, kita bisa mencederai nilai-nilai tersebut,” kata Zainal.
Secara normatif, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berada dalam kerangka hukum positif Indonesia. Akan tetapi, dari sudut pandang hak asasi manusia dan transisi demokrasi, langkah ini menimbulkan ketegangan antara penghargaan simbolik negara dan memori kolektif korban pelanggaran HAM.