ASEAN: Penyelesaian Sengketa LCS Menuju Rezim Hukum Regional?

asean-map-blue-background_23-2148713888

Laut China Selatan (LCS) kembali menjadi perhatian. Ketegangan antara kapal penjaga pantai Tiongkok dan kapal Filipina meningkat tajam. Sementara itu, ASEAN tetap diam. Ketika ketegangan itu menyangkut kedaulatan, hukum, dan keamanan kawasan, diam bukan lagi pilihan.

Sudah lebih dari dua dekade, ASEAN dan China menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) tahun 2002. Tetapi sampai kini, kesepakatan itu tak kunjung berkembang menjadi Code of Conduct (COC) yang mengikat secara hukum.

Padahal, LCS bukan hanya soal perebutan wilayah, tetapi juga tentang kredibilitas ASEAN sebagai organisasi kawasan. China mengklaim sebagian besar LCS berdasarkan garis sembilan putus (Nine-Dash Line), yang tidak diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS). Putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 yang dimenangkan Filipina pun dengan tegas menyatakan klaim China itu tak punya dasar hukum.

Namun, China tetap menolak putusan tersebut dan melanjutkan aktivitas ekspansifnya. Sementara itu, ASEAN tidak mengambil sikap bersama. Negara-negara anggota dibiarkan menghadapi China secara bilateral, meskipun mereka menghadapi ancaman yang sama.

ASEAN Butuh Paradigma Baru dan Indonesia Harus Memimpin

ASEAN perlu menggeser pendekatannya dari diplomasi lunak menjadi diplomasi hukum. Sudah saatnya ASEAN tidak hanya mengutamakan konsensus, tetapi juga berani membangun rezim hukum kawasan.

Tiga langkah mendesak perlu segera dilakukan yaitu pertama, mendorong COC yang benar-benar mengikat secara hukum (legally binding). Bukan lagi deklarasi normatif, tetapi perjanjian yang berisi larangan eksplisit atas tindakan agresif, eksplorasi sepihak, pembangunan pulau buatan, dan pemasangan instalasi militer.

Kedua, ASEAN perlu membentuk lembaga penyelesaian sengketa maritim di tingkat kawasan. Badan ini bisa berperan sebagai forum mediasi dan arbitrase yang menegakkan prinsip-prinsip UNCLOS, sekaligus menjadi jalur alternatif bila mekanisme PBB dirasa terlalu politis atau lamban.

Ketiga, negara-negara anggota ASEAN harus memperkuat kapasitas hukum dan diplomasi maritim mereka. Pendidikan hukum laut, peran para ahli hukum internasional, dan konsolidasi posisi dalam forum regional maupun global perlu ditingkatkan.

Indonesia memiliki modal besar untuk mendorong pendekatan hukum ini. Meskipun bukan negara pengklaim dalam sengketa LTS, Indonesia terdampak langsung, khususnya di zona Laut Natuna Utara. Sebagai negara demokrasi terbesar dan pemilik kekuatan hukum terkemuka di Asia Tenggara, Indonesia bisa dan harus mengambil peran kepemimpinan.

Salah satu usulan konkret adalah menginisiasi Konvensi ASEAN tentang Keamanan dan Hukum Laut. Konvensi ini bisa menjadi landasan awal menuju pembentukan rezim hukum regional yang berakar pada UNCLOS dan prinsip keamanan kolektif kawasan.

Dalam pandangan saya, tentunya hal yang sangat mendasar yang berujung kritik terhadap ASEAN selama ini adalah lemahnya tindakan dan lambannya respons. Tapi justru karena itu, krisis LCS bisa menjadi titik balik. ASEAN tidak boleh lagi hanya menjadi forum diskusi, tetapi harus tumbuh menjadi institusi kawasan yang kokoh secara hukum.

Penting untuk diingat, membentuk rezim hukum kawasan bukan berarti mengabaikan pendekatan diplomasi. Justru sebaliknya, hukum adalah instrumen utama diplomasi modern. Ia menjadi penjaga nalar, bukan sekadar penjaga narasi.

Jika ASEAN tetap diam, maka masa depannya akan dikendalikan kekuatan luar. Tetapi jika ASEAN berani membangun tatanan hukum kawasan, maka LCS bisa menjadi simbol supremasi hukum di tengah rivalitas geopolitik global.

Artikel Terkait

Rekomendasi