Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset telah bergulir bertahun-tahun, hingga kini belum juga disahkan. Sementara itu, revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) justru lebih dulu masuk dalam agenda legislasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan; Mengapa regulasi yang sangat krusial dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi ini masih tertahan? Apakah ada kepentingan politik yang menghambatnya?
UU Perampasan Aset merupakan regulasi yang dirancang untuk memungkinkan negara menyita aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Konsep ini sejalan dengan prinsip non-conviction based asset forfeiture yang telah diterapkan di berbagai negara guna meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lainnya.
Tanpa regulasi ini, penyitaan aset pelaku kejahatan sering terhambat oleh proses hukum yang panjang dan kompleks. Akibatnya, pelaku memiliki cukup waktu untuk menyembunyikan atau mengalihkan aset hasil kejahatan. Hal ini sangat merugikan negara dan masyarakat, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi yang sering kali berhadapan dengan strategi penghindaran hukum yang canggih.
Mengapa UU Ini Tidak Disahkan?
Ada beberapa alasan mengapa UU Perampasan Aset terus tertunda. Pertama, resistensi dari kelompok kepentingan. Adanya ketakutan dari sekelompok yang berkuasa atau yang memiliki kepentingan jika UU perampasan aset disahkan. Karena UU ini akan memudahkan penyitaan aset yang diduga berasal dari kejahatan. Namun, hal ini tentu mengancam kepentingan banyak pihak, termasuk mereka yang berada di lingkaran kekuasaan. Tidak sedikit kasus korupsi yang melibatkan elite politik dan pejabat negara, sehingga ada kekhawatiran bahwa UU ini akan merugikan mereka.
Kedua, karena minimnya dukungan politik. Meskipun Presiden dan beberapa lembaga hukum mendukung UU ini, realitas politik di parlemen berbeda. Partai politik cenderung berhati-hati dalam mendukung regulasi yang dapat merugikan donatur atau anggota mereka sendiri. Akibatnya, pembahasan RUU ini selalu tersendat dan kehilangan momentum.
Ketiga, prioritas legislasi yang tidak berimbang. Hal itu dikarenakan masih banyak UU yang lebih dulu diprioritaskan, termasuk revisi UU TNI yang justru berjalan lebih cepat. Prioritas legislasi ini sering kali lebih didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek daripada kepentingan hukum dan keadilan.
Sementara UU Perampasan Aset tersendat, revisi UU TNI justru masuk dalam agenda legislasi prioritas. Ada beberapa alasan mengapa revisi ini lebih cepat diproses. Pertama, adanya indikasi dorongan dari internal TNI. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, revisi ini sebagian besar dipicu oleh keinginan TNI untuk memperluas peran dan kewenangannya, termasuk dalam ranah sipil. Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah kemungkinan kembalinya TNI ke ranah bisnis, sesuatu yang sebelumnya telah dilarang demi mencegah konflik kepentingan.
Kedua, karena dukungan politik yang lebih kuat. Berbeda dengan UU Perampasan Aset yang banyak mendapat resistensi, revisi UU TNI memiliki dukungan kuat dari berbagai aktor politik. Hal ini tidak mengherankan mengingat TNI masih memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, dengan alasan dinamika keamanan dan stabilitas politik. Isu keamanan sering kali dijadikan justifikasi untuk mempercepat revisi UU TNI. Dengan meningkatnya ancaman global dan tantangan keamanan domestik, ada dorongan untuk memperkuat peran militer, meskipun hal ini berisiko menggeser keseimbangan sipil-militer dalam sistem demokrasi.
Fenomena ini tentunya menunjukkan bahwa politik hukum di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan elite. UU yang bertujuan untuk memberantas kejahatan ekonomi justru tersendat, sementara revisi UU yang berpotensi memperkuat aktor negara diprioritaskan.
Seharusnya, legislasi didasarkan pada kepentingan publik dan supremasi hukum, bukan pada pertimbangan politik pragmatis. Jika Indonesia ingin memperkuat sistem hukum dan memberantas korupsi secara efektif, UU perampasan aset harus segera disahkan, tanpa kompromi terhadap kepentingan kelompok tertentu. Beranikah?