Kautilya, seorang filsuf dan pemikir besar India suatu hari pernah ditanya tentang berapa banyak uang rakyat yang dijarah oleh Pamong Praja. Kautilya menjawab, mustahil bisa menghitungnya. Mereka, kata Kautilya seperti ikan yang menyelam di lautan, tidak ketahuan sedang minum air atau tidak. Apa yang dikatakan oleh Kautilya tiga ratus tahun sebelum masehi itu seolah bertahan hingga saat ini.
Marwan Mas dalam bukunya “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” menyebut bahwa praktik korupsi tidak hanya melanda negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja, korupsi di negara-negara maju tidak berkembang seperti Indonesia. Instrumen dan supremasi hukum pada negara-negara maju dalam memberantas korupsi, betul-betul berjalan sebagaimana mestinya karena adanya keseriusan aparat hukumnya yang didukung oleh kemauan politik (political will) kepala pemerintahan.
Sejarah pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstrakeras dan membutuhkan kemauan politik yang sangat besar dan serius dari pemerintah yang berkuasa. Lantas apa itu korupsi?
Selayang Pandang Terminologi Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corroptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti Inggris: corruption, corrupt, Perancis: corrupratio, dan Belanda: corruption (korruptie). Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional” merefleksikan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia “korupsi”. Di Malaysia dipakai kata resuah yang diambil dari bahasa Arab risywah (suap) yang secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, perbuatan ini termasuk dosa.
Subekti dan Tjitrosoedibio menyatakan corruptive adalah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Adapun Baharuddin Lopa dengan mengutip pendapat David M. Chalmers menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil dari defenisi “financial manipulations and deliction in jurious“.
Bayangan Tipikor dalam KUHP Lama
Delik korupsi yang sebelumnya diatur dalam KUHP lama merupakan tindak pidana yang mencakup aspek penyalahgunaan jabatan, keuangan negara, dan kejahatan terhadap kepercayaan publik. Ketentuan ini termuat dalam beberapa pasal, seperti Pasal 209, 210 KUHP (tentang penyuapan terhadap jabatan dan hakim), 387, 388 KUHP (terkait perbuatan curang yang membahayakan keselamatan orang, barang, atau negara), Pasal 415-419 KUHP (tindak pidana penggelapan dan penyalahgunaan jabatan), 420 (menerima hadiah dan janji yang dilakukan oleh hakim atau penasihat yang ditunjuk oleh undang-undang), hingga Pasal 423 dan 425 (pemerasan oleh pejabat).
Seiring perkembangan hukum, delik-delik ini ditarik secara mutlak dari KUHP dan dimasukkan ke dalam kerangka hukum yang lebih khusus, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna memberikan penanganan yang lebih terarah, tegas, dan komprehensif. Dalam undang-undang tersebut, tindak pidana korupsi didefinisikan secara lebih luas dan mencakup berbagai bentuk pelanggaran, baik dalam arti materil maupun keuangan negara.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dilakukan pemetaan, jenis tindak pidana korupsi di Indonesia dapat ditemukan dalam tiga belas pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk korupsi. Pasal-pasal ini menjelaskan secara rinci perbuatan yang dapat dikenakan pidana penjara terkait dengan tindak pidana korupsi. Beberapa bentuk tindak pidana tersebut mencakup kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, serta gratifikasi.
Korupsi telah menjadi masalah serius yang menghambat kemajuan bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan membangun perekonomian. Kejahatan ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak moral, mengikis kepercayaan publik, dan merongrong tatanan sosial. Karena dampak destruktifnya, korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain. Kategori ini menegaskan bahwa korupsi diperlakukan dengan sangat serius, karena dapat menghancurkan fondasi suatu negara. Seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, norma-norma hukum dalam KUHP lama yang sebelumnya mengatur tentang korupsi, kini tidak lagi digunakan. Sebagai gantinya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengakomodasi segala bentuk pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ketentuan yang lebih tegas, ancaman pidana yang lebih berat, dan mekanisme yang lebih efektif untuk menanggulangi praktik korupsi.
Di Indonesia, bahaya korupsi disejajarkan dengan kejahatan luar biasa lainnya seperti terorisme, penyalahgunaan narkotika, dan perusakan lingkungan berat. Status korupsi sebagai extraordinary crime juga mendapat pengakuan internasional, sejajar dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi yang diatur dalam Statuta Roma. Mengingat statusnya, korupsi dengan demikian harus ditangani dengan pendekatan yang luar biasa pula. Penegakan hukum yang tegas hingga partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci dalam melawan korupsi.
Pantulan Tipikor dalam KUHP Baru
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP baru) menggambarkan upaya pemerintah dalam menyelaraskan penanganan tindak pidana korupsi dengan kebutuhan hukum modern. Kodifikasi dalam KUHP baru bertujuan menyederhanakan aturan dan menciptakan sistem yang lebih harmonis. Meski begitu, KUHP baru mencabut sebagian pasal terkait delik korupsi yang sebelumnya diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Laman Resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional mengemukakan bahwa implikasi serius dari pemberlakuan KUHP baru adalah delik korupsi tidak lagi merupakan extraordinary crime alias dipersamakan dengan delik biasa.
Ketika tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai extraordinary crime melainkan sebagai tindak pidana umum atau biasa, sebagaimana kejahatan konvensional seperti pencurian dengan kekerasan atau penggelapan, terdapat implikasi hukum yang signifikan terhadap sistem penegakan hukum. Menurut Romli, perubahan ini berdampak langsung pada hilangnya kekhususan kewenangan di antara aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai contoh, jika korupsi diperlakukan sebagai tindak pidana umum, KPK tidak lagi memiliki wewenang khusus seperti melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan. Hal ini mengurangi efektivitas dan kecepatan dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi yang seringkali melibatkan modus operandi canggih dan terorganisir. Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi dapat menjadi lebih lambat dan kurang optimal, berpotensi mengurangi daya gentar terhadap pelaku kejahatan ini.
Awal tahun 2023, Transparency International meluncurkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) yang hasilnya mengejutkan di mana skor Indonesia turun 4 poin dari tahun sebelumnya dan ini merupakan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015.
Disahkannya KUHP baru pada 6 Desember 2022 sebagaimana akan berlaku tiga tahun setelahnya tentu memicu kekhawatiran akan kemunduran agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasal-pasal tindak pidana korupsi (tipikor) dalam KUHP baru dinilai bukan hanya menghilangkan kekhususan korupsi sebagai extraordinary crime, melainkan juga melemahkan kewenangan aparat penegak hukum, hingga menurunkan ancaman pidana bagi pelaku.
Penurunan hukuman minimum, seperti misalnya yang terjadi pada Pasal 603 KUHP baru, berpotensi membuka celah bagi koruptor untuk memanfaatkan diskresi hukum. Selain itu, absennya aturan pidana tambahan, seperti pembayaran uang pengganti, meruntuhkan semangat pengembalian aset negara. Penjelasan pasal yang membatasi otoritas penghitungan kerugian negara hanya pada BPK juga dikhawatirkan memperlambat proses penyidikan.
Indonesia Corruption Watch menyebut bahwa pasal korupsi dalam KUHP baru justru menjauhkan efek jera dan menguntungkan koruptor. Pengaturan ini bertolak belakang dengan kebutuhan hukum modern dan upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Hal ini menjadi sorotan tajam sebagai langkah mundur yang memperlemah agenda antikorupsi di era pemerintahan saat ini.