Menjaga Peri Kemanusiaan Perlindungan Pengungsi di Gaza dalam Konflik Israel-Palestina Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional
Pengantar
Konflik bersenjata Israel-Palestina telah menimbulkan dampak kemanusiaan luar biasa, dengan ribuan korban jiwa dan jutaan orang mengungsi. Konflik ini tidak hanya menjadi krisis politik dan sosial, tetapi juga ujian besar terhadap penerapan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Perlindungan terhadap pengungsi, terutama di Jalur Gaza, menjadi salah satu tantangan terbesar karena situasi di wilayah tersebut semakin memburuk akibat serangan-serangan militer dan blokade yang berkepanjangan.
Tulisan artikel ini akan membahas dampak konflik Israel-Palestina terhadap pengungsi dan bagaimana kerangka HHI mencoba memberikan perlindungan, meskipun penerapannya kerap terhalang situasi politik dan militer yang kompleks.
Krisis Pengungsi di Israel-Palestina
Sejak Oktober 2023, eskalasi konflik bersenjata di Gaza telah menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi dari rumah mereka. Di Gaza saja, sekitar 1,7 juta orang terpaksa berpindah tempat akibat serangan udara intensif dan penghancuran infrastruktur penting seperti rumah sakit, sekolah, serta jaringan listrik dan air bersih.
Pengungsi internal di Gaza tidak memiliki pilihan aman. Sebagian besar fasilitas kemanusiaan, termasuk rumah sakit dan tempat penampungan, telah menjadi target serangan. Human Rights Watch melaporkan bahwa serangan militer terhadap rumah sakit di Gaza Utara, termasuk Rumah Sakit Indonesia, telah mengakibatkan kematian pasien dan staf medis serta menambah penderitaan ribuan pengungsi yang berlindung di fasilitas kesehatan tersebut.
UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) telah mendukung beberapa generasi pengungsi Palestina dengan bantuan kesehatan, pendidikan, dan sosial. Klinik kesehatan primer UNRWA menyediakan layanan dasar yang mampu menurunkan angka kematian ibu dan bayi di kalangan pengungsi Palestina hingga ke tingkat nasional, atau bahkan lebih rendah lagi.
Lebih dari 2,5 juta pengungsi Palestina telah lulus dari sekolah-sekolah UNRWA sejak tahun 1950- an. Program pendidikan perintis UNRWA pun diakui sebagai kekuatan pendidikan yang signifikan di Timur Tengah.
UNRWA juga menyediakan bantuan berupa makanan dan uang tunai kepada para pengungsi miskin dan rentan. Pada 2021, sebanyak 398.044 pengungsi di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, dan Yordania dibantu melalui program tersebut.
UNRWA, yang berkantor pusat di lingkungan Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, membantah tuduhan Israel tersebut dan menegaskan bahwa pihaknya tetap netral, hanya berfokus pada dukungan bagi para pengungsi.
Anggota Dewan Keamanan PBB menekankan bahwa UNRWA tetap menjadi tulang punggung seluruh respon kemanusiaan di Gaza dan tidak ada organisasi yang dapat menggantikan atau menggantikan kapasitas dan mandat UNRWA untuk melayani pengungsi Palestina dan warga sipil yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk menyelamatkan jiwa.
Utusan Palestina untuk PBB Feda Abdelhady menegaskan bahwa keputusan Israel mengesahkan undang-undang tersebut menunjukkan Israel sedang melancarkan perang terbuka terhadap PBB.
Dalam pernyataan bersama, menteri luar negeri Kanada, Australia, Prancis, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Inggris mendesak Israel untuk menghentikan undang-undang tersebut dan menyatakan kekhawatiran yang mendalam, terutama mengingat krisis kemanusiaan di Gaza.
Uni Eropa (EU) mendesak Israel untuk mempertimbangkan lagi larangan tersebut karena bertentangan dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.
Begitu pula dengan Amerika Serikat yang menekankan bahwa badan tersebut memiliki peran kritis dalam memberikan bantuan kepada warga sipil di Gaza.
Indonesia turut mengutuk keras keputusan Israel karena jelas-jelas melanggar dan bertentangan dengan Piagam PBB dan Konvensi 1946 tentang kekebalan lembaga PBB.
UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) diberi mandat oleh Majelis Umum PBB untuk melayani pengungsi Palestina. Istilah itu didefinisikan pada 1952 sebagai setiap orang yang tempat tinggal normalnya adalah Palestina selama periode 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948 serta kehilangan rumah dan mata pencaharian sebagai akibat dari konflik 1948.
Pengungsi Palestina adalah orang-orang yang memenuhi definisi di atas dan merupakan keturunan dari ayah yang memenuhi definisi tersebut.
Selain pengungsi Palestina, Majelis Umum PBB juga telah mengamanatkan UNRWA untuk menawarkan layanan kepada orang-orang tertentu yang memerlukan bantuan kemanusiaan, dalam keadaan darurat jika diperlukan, di wilayah operasi UNRWA lainnya seperti Lebanon, Yordania dan Suriah.
Ketika mulai beroperasi pada tahun 1950, badan ini menjawab kebutuhan sekitar 750.000 pengungsi Palestina. Saat ini, tercatat sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina berhak menerima layanan UNRWA.
Peran Hukum Humaniter Internasional
HHI, melalui Konvensi Jenewa dan protokol tambahannya, bertujuan melindungi warga sipil selama konflik bersenjata. Prinsip-prinsip utama yang relevan dalam konteks ini meliputi:
a. Perlindungan Warga Sipil dan Infrastruktur HHI melarang serangan terhadap warga sipil dan fasilitas penting seperti rumah sakit, tempat ibadah, dan infrastruktur dasar. Serangan terhadap rumah sakit dan fasilitas kemanusiaan di Gaza, yang menjadi tempat berlindung pengungsi, jelas melanggar prinsip ini.
b. Larangan Pemindahan Paksa
HHI melarang pemindahan paksa warga sipil kecuali demi keselamatan mereka sendiri atau karena alasan militer mendesak. Namun, evakuasi besar-besaran yang diperintahkan oleh Israel di Gaza Utara sering kali tidak realistis, karena keterbatasan transportasi dan lokasi aman. WHO menyebut langkah ini sebagai “hukuman mati” bagi pasien kritis yang tidak mampu berpindah tempat.
c. Prinsip Non-Refoulement
Meskipun lebih sering dikaitkan dengan Konvensi Pengungsi 1951, prinsip ini juga relevan dalam HHI. Non-refoulement melarang pengembalian pengungsi ke wilayah yang membahayakan keselamatan mereka. Dalam konteks Gaza, banyak pengungsi tidak memiliki tempat aman untuk berlindung, sehingga non-refoulement menjadi prinsip perlindungan yang sulit diterapkan.
Tantangan Implementasi HHI di Konflik Israel-Palestina
Meski HHI memberikan kerangka perlindungan, penerapannya di konflik ini menghadapi banyak kendala, antara lain:
a. Konteks Politik dan Militer
Israel mengklaim bahwa operasi militernya ditujukan untuk menghentikan serangan dari kelompok bersenjata di Gaza. Namun, banyak serangan yang menargetkan infrastruktur sipil, melanggar asas proporsionalitas dan pembedaan dalam HHI.
b. Blokade dan Pembatasan Akses Bantuan
Blokade yang diberlakukan Israel terhadap Gaza membatasi akses bantuan kemanusiaan. Organisasi seperti PBB dan Palang Merah Internasional menghadapi kesulitan dalam menyediakan kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan tempat penampungan bagi pengungsi.
c. Minimnya Akuntabilitas
Kasus-kasus pelanggaran HHI sering kali tidak diikuti oleh proses akuntabilitas yang memadai. Misalnya, serangan terhadap rumah sakit dan warga sipil jarang menghasilkan investigasi independen yang transparan.
Upaya Global untuk Melindungi Pengungsi Palestina
Komunitas internasional telah berupaya memberikan perlindungan melalui badan-badan seperti UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees). UNRWA menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan darurat bagi jutaan pengungsi Palestina di wilayah Timur Tengah.
Namun, kebutuhan di lapangan jauh melebihi kapasitas badan-badan ini, terutama ketika eskalasi konflik terus berlangsung. Selain itu, dukungan keuangan untuk UNRWA sering kali terganggu oleh ketegangan politik global, sehingga memperburuk situasi pengungsi.
Kesimpulan
Konflik Israel-Palestina menyoroti pentingnya penerapan Hukum Humaniter Internasional dalam melindungi pengungsi dan warga sipil yang terdampak. Namun, tantangan politik, militer, dan logistik kerap menghambat upaya ini. Dalam situasi seperti di Gaza, di mana pengungsi tidak memiliki tempat aman untuk berlindung, prinsip-prinsip HHI sering kali terabaikan, meninggalkan jutaan orang dalam situasi kritis.
Komunitas internasional perlu memperkuat akuntabilitas terhadap pelanggaran HHI dan memastikan akses bantuan kemanusiaan yang tidak terhambat. Hanya melalui langkah-langkah ini, hak asasi para pengungsi dapat benar-benar terjamin, bahkan di tengah konflik yang terus berkecamuk.