Pengantar
Indonesia, meskipun bukan negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, telah lama menjadi tempat transit bagi ribuan pengungsi yang melarikan diri dari konflik dan kekerasan, termasuk pengungsi Rohingya dari Myanmar. Pada tahun 2023, gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke wilayah Indonesia mengalami peningkatan signifikan, yang memperburuk tantangan dalam menangani krisis pengungsi ini. Banyak di antara mereka tiba setelah melalui perjalanan laut yang berbahaya, mencari perlindungan dari persekusi dan pelanggaran HAM di negara asal mereka.
Kendati demikian, meningkatnya jumlah pengungsi menempatkan pemerintah Indonesia dalam dilema yang semakin rumit. Kebijakan deportasi terhadap pengungsi yang datang dalam jumlah besar hingga akhir tahun 2023 mencerminkan kesulitan pemerintah dalam menyeimbangkan antara kewajiban moral untuk menghormati prinsip non-refoulement, yang melarang pengembalian paksa individu ke tempat di mana mereka menghadapi ancaman serius, dengan kepentingan nasional terkait keamanan dan stabilitas domestik. Gelombang pengungsi yang terus bertambah telah memicu kekhawatiran di beberapa kalangan, terutama terkait dampak sosial, ekonomi, dan keamanan bagi masyarakat lokal. Di tengah meningkatnya tekanan internasional untuk memberikan perlindungan bagi pengungsi, pemerintah Indonesia juga harus menghadapi keterbatasan sumber daya dan infrastruktur untuk menampung mereka.
Mengapa Prinsip Non-Refoulement Penting?
Salah satu elemen kunci dalam hukum pengungsi internasional adalah prinsip non-refoulement. Prinsip non-refoulement, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951, melarang suatu negara untuk mengusir atau memulangkan pengungsi ke negara asal mereka jika di sana terdapat ancaman serius terhadap keselamatan atau kebebasan mereka. Prinsip ini dianggap sebagai norma hukum internasional yang bersifat ius cogens, yang mengikat seluruh negara, baik yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 maupun yang tidak. Artinya, meskipun Indonesia tidak menandatangani konvensi tersebut, negara ini tetap diwajibkan untuk mematuhi prinsip non-refoulement. Indonesia tetap menunjukkan komitmennya terhadap penanganan pengungsi dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Melalui aturan ini, pemerintah bekerja sama dengan UNHCR untuk melindungi para pengungsi, meskipun terdapat batasan-batasan dalam fasilitas, sumber daya, dan status hukum yang tersedia bagi mereka.
Penerapan prinsip non-refoulement tidak selalu mudah. Di satu sisi, Indonesia memiliki kewajiban moral dan hukum untuk melindungi pengungsi dari ancaman bahaya di negara asal mereka. Namun, di sisi lain, terdapat pertimbangan keamanan nasional yang harus diprioritaskan. Ketika jumlah pengungsi yang datang semakin meningkat, tantangan yang dihadapi pemerintah adalah bagaimana menyeimbangkan antara kewajiban melindungi hak asasi pengungsi dan menjaga keselamatan serta stabilitas dalam negeri. Pemerintah harus mempertimbangkan faktor keamanan, sumber daya yang terbatas, dan potensi dampak sosial dari keberadaan pengungsi dalam jumlah besar, sembari tetap menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum internasional.
Dilema Deportasi dan Keamanan Nasional
Salah satu tantangan terbesar dalam menangani pengungsi di Indonesia adalah potensi ancaman terhadap keamanan nasional. Seiring bertambahnya jumlah pengungsi Rohingya di Aceh hingga akhir tahun 2023, tekanan bagi pemerintah untuk mengambil tindakan semakin tinggi. Beberapa warga lokal merasa terganggu oleh perilaku sebagian pengungsi, dan ini menimbulkan tuntutan agar pemerintah segera melakukan deportasi demi menjaga stabilitas dan keamanan sosial. Dari perspektif pemerintah, tindakan deportasi dapat dipandang sebagai solusi cepat untuk mengatasi keresahan masyarakat dan menjaga ketertiban nasional.
Kebijakan deportasi pengungsi Rohingya telah menjadi sorotan internasional karena dianggap berisiko melanggar prinsip non-refoulement, yaitu larangan pengembalian pengungsi ke negara asal mereka jika mereka berpotensi menghadapi bahaya serius, seperti penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau ancaman terhadap nyawa. Meski prinsip ini diakui secara luas, penerapannya tidak bersifat mutlak. Terdapat pengecualian yang memungkinkan deportasi, terutama jika pengungsi dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan nasional atau ketertiban umum negara penerima.
Kritik internasional menyoroti bahwa deportasi pengungsi ke negara asal yang tidak aman berpotensi mengabaikan tanggung jawab kemanusiaan dan HAM yang diakui secara global. Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam menyeimbangkan antara kewajiban moral dan hukum internasional dengan upaya melindungi kedaulatan dan keamanan dalam negeri. Keputusan deportasi harus didasarkan pada evaluasi mendalam tentang risiko yang dihadapi pengungsi dan dampak potensial terhadap keamanan nasional, memastikan bahwa langkah ini merupakan pilihan terakhir setelah opsi lain telah dipertimbangkan.
Pembatasan dan Pengecualian Penerapan Pinsip Non-Refoulement
Prinsip non-refoulement merupakan salah satu pilar utama perlindungan pengungsi dalam hukum internasional, yang melarang negara mengusir atau memulangkan individu ke negara asalnya jika ada risiko nyata bahwa mereka akan menghadapi penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau ancaman serius terhadap nyawa mereka. Meskipun prinsip ini diakui sebagai norma hukum internasional yang bersifat jus cogens, atau mengikat secara absolut, penerapannya tidak sepenuhnya tanpa batas. Ada sejumlah pengecualian dan pembatasan yang memungkinkan negara mengambil tindakan yang tampaknya bertentangan dengan prinsip tersebut.
Salah satu pembatasan utama dalam penerapan prinsip non-refoulement adalah ketika individu yang bersangkutan dianggap sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional atau ketertiban umum. Pasal 33(2) Konvensi Pengungsi 1951 memberikan pengecualian yang memperbolehkan negara untuk tidak memberikan perlindungan jika seorang pengungsi dianggap membahayakan keamanan negara penerima. Selain ancaman terhadap keamanan nasional, prinsip non-refoulement juga tidak berlaku terhadap individu yang telah melakukan kejahatan berat, termasuk kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1F Konvensi 1951. Dalam kasus ini, perlindungan pengungsi dapat dicabut jika terbukti bahwa mereka terlibat dalam pelanggaran berat yang bertentangan dengan norma-norma internasional. Negara penerima berhak untuk mengecualikan perlindungan non-refoulement berdasarkan evaluasi hukum yang menyeluruh. Pengecualian ini dirancang untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan internasional tidak dapat menyalahgunakan sistem perlindungan pengungsi.
Mencari Titik Temu antara Kemanusiaan dan Kepentingan Nasional
Secara hukum, kebijakan deportasi yang diambil oleh Indonesia perlu dianalisis dalam konteks hukum nasional dan internasional. Indonesia, melalui Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, telah menetapkan kerangka kerja untuk menangani pengungsi. Namun, peraturan ini tidak sepenuhnya menutupi kekosongan hukum terkait status pengungsi di Indonesia, mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Meskipun begitu, Indonesia tetap mengadopsi prinsip non-refoulement sebagai pedoman utama dalam menangani pengungsi. Namun, adanya kekosongan hukum terkait status pengungsi, dan kurangnya kejelasan dalam mekanisme penanganan pengungsi yang tidak dapat ditempatkan di negara ketiga, memperumit situasi ini. Dalam konteks deportasi, Pemerintah Indonesia sering kali berargumen bahwa kebijakan tersebut diambil demi melindungi kepentingan keamanan nasional, khususnya ketika ada indikasi bahwa kehadiran pengungsi dapat menimbulkan gangguan keamanan.
Dilema dalam penanganan pengungsi Rohingya mengingatkan kita bahwa menjaga keamanan nasional tidak berarti mengesampingkan prinsip kemanusiaan. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan kerja sama internasional yang kuat, Indonesia dapat berperan sebagai negara yang tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia sambil menjaga ketertiban di wilayahnya. Di tengah tantangan besar ini, Indonesia memiliki peluang untuk memperlihatkan komitmen kemanusiaan yang sejalan dengan kebutuhan keamanan dan stabilitas sosial, demi mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi pengungsi Rohingya.
Kesimpulan
Prinsip non-refoulement, yang melarang pemulangan pengungsi ke negara di mana mereka berisiko mengalami penyiksaan atau penganiayaan, tidak diterapkan secara mutlak. Meskipun prinsip ini merupakan norma hukum internasional yang mengikat dan diakui secara universal, implementasinya dapat dipengaruhi oleh pertimbangan lain seperti keamanan nasional. Dalam konteks kebijakan deportasi pengungsi Rohingya oleh Indonesia, prinsip non-refoulement tidak menghambat sepenuhnya penerapan kebijakan deportasi jika negara dapat membuktikan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan kepentingan keamanan nasional dan bahwa risiko terhadap HAM pengungsi telah dievaluasi secara cermat. Sehingga, prinsip non-refoulement tidak bersifat absolut dalam konteks kebijakan deportasi, melainkan harus dipertimbangkan bersamaan dengan pertimbangan keamanan dan kepentingan nasional.
Kebijakan deportasi pengungsi Rohingya oleh Indonesia dengan alasan keamanan nasional tidak serta-merta melanggar kepatuhan terhadap prinsip non-refoulement dalam hukum internasional, asalkan dilaksanakan melalui mekanisme hukum yang transparan dan akuntabel. Negara harus memastikan bahwa keputusan deportasi diambil setelah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap risiko yang mungkin dihadapi oleh pengungsi di negara asal mereka. Mekanisme ini harus menjamin bahwa kebijakan imigrasi tidak diskriminatif dan bahwa HAM pengungsi tetap dilindungi. Oleh karena itu, kebijakan deportasi dapat dipertahankan dalam kerangka hukum internasional selama prosedurnya mematuhi standar HAM dan memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan pertimbangan yang hati-hati dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.