BiMa—akronim dari Basis Informasi Manajemen Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat adalah sistem digital resmi milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Di atas kertas, BiMa digadang-gadang sebagai jembatan kemajuan, sistem yang menyatukan data akademik, penilaian kinerja dosen, dan pengusulan penelitian secara transparan dan efisien. Namun di balik namanya yang gagah dan menjanjikan, BiMa justru menjadi mimpi buruk bagi sebagian akademisi. Khususnya bagi mereka yang berstatus izin belajar.
Sebuah tangkapan layar dari laman BiMa menggambarkan ironi itu dengan gamblang. Seorang dosen dengan skor SINTA tinggi (1184), jabatan fungsional lektor, homebase sosial-humaniora, dan tanpa tanggungan laporan penelitian aktif, tetap dinyatakan tidak dapat mengusulkan penelitian. Alasannya? Ia sedang izin belajar.
BiMa seolah tak peduli apakah dosen tersebut tetap aktif menulis, melakukan riset, bahkan mengajar. Sistem menutup aksesnya secara mutlak. Maka nama “BiMa”, yang terinspirasi dari sosok ksatria Pandawa pemberani dan adil dalam epos Mahabharata, berubah menjadi sistem yang tak berperikemanusiaan digital bagi dosen yang sedang menuntut ilmu lebih tinggi.
Izin Belajar = Status Tersangka dalam Sistem BiMa
Logika yang dibangun BiMa secara tidak langsung menjadikan izin belajar sebagai status “tersangka akademik”. Sistem menempatkan dosen dalam posisi tidak layak dipercaya untuk menerima hibah penelitian, seolah mereka berhenti berkontribusi atau akan menyalahgunakan dana. Padahal, tak sedikit dosen yang tetap berkarya dan menghasilkan artikel bereputasi saat tengah menempuh S3. Bukankah penelitian dalam masa studi juga bagian dari kontribusi terhadap ilmu pengetahuan?
Lebih ironis lagi, larangan mengusulkan penelitian ini tidak mempertimbangkan konteks institusional. Banyak perguruan tinggi, terutama di luar Jawa, justru menggantungkan capaian publikasi dan penelitian pada dosen yang sedang izin belajar. Mereka adalah motor penggerak kampus dalam publikasi internasional. Namun BiMa membungkam peran itu dengan satu status: izin belajar.
Tidak hanya itu, sistem BiMa juga menunjukkan wajah birokrasi digital yang dingin dan kaku. Ada instruksi jelas: “Pastikan sinkronisasi data SINTA sudah dilakukan”. Namun bahkan setelah sinkronisasi dilakukan, sistem tetap dapat menolak dosen dengan notifikasi yang lebih menyakitkan: “Tidak ada skema yang dapat dipilih”. Artinya: pintu tertutup rapat, bahkan tanpa alasan substantif.
Inilah digitalisasi yang gagal memahami ekosistem akademik. Dalam semangat efisiensi, BiMa justru mematikan semangat berinovasi. Di saat negara-negara lain berlomba memberi insentif bagi akademisi muda untuk riset, Indonesia justru memasang tembok digital bagi para dosen yang sedang menempuh pendidikan lanjutan.
Skema Tanpa Skema: Pendanaan Penelitian sebagai Mitos
Kalimat “tidak ada skema yang dapat dipilih” menunjukkan masalah yang lebih dalam: desain pendanaan penelitian yang tidak inklusif. Dalam banyak kasus, sistem hibah hanya terbuka untuk dosen dengan status “aktif penuh”, tanpa mempertimbangkan kompleksitas dan diversitas peran dosen. Mengapa dosen yang sedang studi lanjut tidak diberikan skema khusus, atau setidaknya akses parsial? Bukankah mereka juga memerlukan dana untuk menunjang riset disertasinya? Bukankah ini bagian dari investasi negara terhadap sumber daya manusianya sendiri?
Lebih mengkhawatirkan lagi, sistem BiMa tidak memberikan ruang untuk keberatan. Tidak ada tombol “banding”. Tidak ada kolom penjelasan. Dosen hanya diberi tombol “Tutup”, seperti menutup jendela harapan yang sudah dikunci dari luar.
Sudah saatnya BiMa dikoreksi. Pertama, Kementerian harus segera merevisi sistem eligibilitas agar dosen izin belajar tetap bisa mengusulkan penelitian, minimal pada skema internal atau khusus. Kedua, integrasi data antara SINTA, PDDikti, dan BiMa harus diperbaiki agar tidak menyandera hak dosen karena masalah teknis semata. Ketiga, perlu ada mekanisme banding dan klarifikasi yang memungkinkan dosen menjelaskan konteks akademiknya.
BiMa bisa menjadi alat transformasi akademik, tapi hanya jika dibangun dengan logika kemanusiaan dan keberpihakan pada semangat akademik. Bila tidak, maka ia hanya akan menjadi mesin administrasi dingin yang menyamar sebagai sistem canggih. Nama boleh BiMa, tapi nyatanya tak segagah ksatria Pandawa. Bahkan bisa lebih mengerikan dari birokrasi manual, karena tidak memberi ruang untuk didengar, hanya untuk ditolak. Ini namanya sudah kalah dulu sebelum berperang!