Kebebasan, Kami Bersamamu Septia

https://www.law-justice.co/artikel/165971/analisis-hukum-vonis-mk-mencabut-pasal-pencemaran-nama-baik--hoax-/

Kasus yang melibatkan Septia Dwi Pertiwi, mantan karyawan PT. Hive Five, menyoroti isu penting dalam ranah hukum ketenagakerjaan dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Septia dituntut atas dugaan pencemaran nama baik setelah mengkritik mantan perusahaannya melalui media sosial terkait pelanggaran hak-hak pekerja. Kasus ini menimbulkan berbagai pandangan dari para ahli hukum dan aktivis hak asasi manusia.

Septia Dwi Pertiwi mengungkapkan melalui akun media sosialnya bahwa selama bekerja di PT. Hive Five, ia mengalami berbagai pelanggaran hak pekerja, seperti upah di bawah UMR, jam kerja melebihi batas yang ditetapkan, dan pemotongan gaji sepihak. Menanggapi hal tersebut, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF, pemilik PT. Hive Five, melaporkan Septia atas tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada 11 Desember 2024, Jaksa Penuntut Umum menuntut Septia dengan hukuman penjara satu tahun dan denda Rp50 juta.

Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk kalangan akademisi serta praktisi hukum, menggelar aksi solidaritas menuntut penghentian proses kriminalisasi terhadap Septia yang akan diputuskan kasus hari ini oleh pengadilan. Mereka menilai bahwa penggunaan UU ITE dalam kasus ini merupakan bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi dan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Desi Sommaliagustina, Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, menegaskan bahwa masalah ini seharusnya diselesaikan lewat mekanisme ketenagakerjaan, bukan pidana.

Amnesty International Indonesia juga menyatakan keprihatinannya terhadap penahanan Septia, menekankan bahwa ia ditahan hanya karena menggunakan haknya untuk berekspresi secara damai. Mereka mendesak pihak berwenang untuk membebaskan Septia dan memastikan bahwa semua aktivis dapat melakukan kegiatan damai tanpa takut dihalangi atau diintimidasi.

Penggunaan UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, dalam kasus ini menimbulkan perdebatan. Banyak ahli hukum berpendapat bahwa pasal tersebut sering disalahgunakan untuk membungkam kritik dan seharusnya menjadi ranah hukum perdata, bukan pidana. Selain itu, isu yang diangkat oleh Septia berkaitan dengan hak-hak ketenagakerjaan yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme ketenagakerjaan, seperti PHI, bukan melalui jalur pidana.

Kasus Septia Dwi Pertiwi menjadi refleksi penting mengenai perlindungan hak pekerja dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Diperlukan evaluasi terhadap penerapan UU ITE agar tidak digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi individu yang menyuarakan ketidakadilan. Penyelesaian sengketa ketenagakerjaan seharusnya difokuskan pada mekanisme yang telah ditetapkan dalam hukum ketenagakerjaan, memastikan perlindungan yang adil bagi pekerja dan pemberi kerja.

Artikel Terkait

Rekomendasi