Narasi bahwa Presiden Prabowo Subianto mengadopsi gaya kepemimpinan Presiden Soeharto bukanlah isapan jempol semata. Prabowo secara terbuka menyatakan kekagumannya terhadap Soeharto, bahkan menyebutnya sebagai “guru bangsa” yang berhasil membawa Indonesia ke arah pembangunan. Dalam banyak kesempatan, ia menggambarkan Soeharto sebagai pemimpin tegas, berorientasi pada stabilitas dan ketahanan nasional. Tapi benarkah gaya Soeharto cocok diadopsi di tengah sistem demokrasi pasca-reformasi?
Kini, pertanyaan itu semakin relevan karena sejumlah praktik kekuasaan dalam pemerintahan hari ini mulai menampilkan pola-pola lama: dominasi militer dalam posisi sipil, rangkap jabatan yang subur, tumpulnya hukum bagi elite politik, serta penyalahgunaan hukum untuk kepentingan penguasa. Apakah ini pertanda kita sedang berjalan mundur ke masa lalu?
Soehartoisme: Efisiensi Semu, Otoritarianisme Nyata
Di bawah Soeharto, pembangunan fisik memang menonjol, tetapi dengan harga mahal: kebebasan sipil ditindas, oposisi dibungkam, dan hukum tunduk pada penguasa. Konsep stabilitas dijadikan tameng untuk menolak kritik. Militer menjalankan dwi fungsi—berperan sebagai alat pertahanan sekaligus kekuatan politik.
Ketika Prabowo mengagumi Soeharto, publik patut bertanya: bagian mana dari kepemimpinan Soeharto yang hendak diadopsi? Jika yang dimaksud adalah pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, tentu itu layak. Namun jika yang dikagumi adalah kontrol ketat terhadap pers, oposisi dan parlemen, maka itu alarm bahaya bagi demokrasi.
Beberapa fenomena hari ini mencerminkan kemiripan pola dengan era Orde Baru. Pertama, praktik rangkap jabatan kian menggurita. Sejumlah pejabat publik menjabat di beberapa posisi strategis sekaligus—baik di BUMN, partai, maupun kementerian. Ini mengindikasikan budaya kekuasaan yang elitis dan terpusat, bukan meritokratis.
Kedua, terjadi militerisasi jabatan sipil secara masif. Posisi-posisi penting yang semestinya diisi oleh sipil justru dialihkan kepada perwira aktif atau purnawirawan TNI dan Polri. Mulai dari jabatan kepala otorita, direksi BUMN, hingga kepala daerah sementara (Pj), diisi oleh aparat. Hal ini menandai kembalinya dominasi militer dalam struktur sipil, mirip dengan pola dwi fungsi ABRI era Soeharto.
Ketiga, hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Saat masyarakat sipil, aktivis, atau mahasiswa bersuara kritis, mereka dengan mudah dikriminalisasi atau dibungkam. Namun, ketika pelanggaran dilakukan oleh elite atau tokoh partai penguasa, penegakan hukum menjadi kompromistis. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite politik tak jarang menguap atau diselesaikan dengan cara “politik dagang sapi”.
Keempat, hukum kian terlihat sebagai alat kekuasaan. Dalam Pemilu 2024, publik menyaksikan bagaimana tafsir hukum bisa berubah hanya demi mengakomodasi kepentingan politik. Misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia cawapres yang kontroversial, disusul dengan dinamika yang melibatkan keluarga penguasa, kasus-kasus yang melibatkan koalisi partai pendukung hingga kasus yang melibatkan menteri pada kabinetnya. Ini mengingatkan pada pola lama di mana lembaga yudisial dijadikan alat legitimasi kebijakan elite.
Demokrasi dalam Ujian: Antara Ketegasan dan Represi
Ada perbedaan mendasar antara pemimpin yang tegas dengan yang otoriter. Tegas adalah ketika seorang pemimpin berani mengambil keputusan sulit namun tetap tunduk pada hukum dan menghargai partisipasi publik. Sebaliknya, otoriter adalah ketika penguasa memaksakan kehendak dan melemahkan kontrol publik.
Jika Prabowo hendak meniru ketegasan Soeharto, maka ia harus berhati-hati agar tidak terperosok pada jebakan otoritarianisme. Demokrasi modern menuntut akuntabilitas, bukan hanya efisiensi. Tuntutan masyarakat kini tidak bisa lagi dibungkam dengan jargon nasionalisme sempit atau ketahanan semu.
Kembalinya figur militer dalam banyak posisi sipil harus dibaca sebagai ancaman terhadap otonomi sipil dan pengawasan publik. Sejumlah pakar menyebut ini sebagai “neo-otoritarianisme”—sebuah bentuk kekuasaan yang secara formal demokratis, namun secara substansi sangat elitis dan represif.
Dominasi aparat dan elite dalam jabatan strategis mempersempit ruang partisipasi publik dan menutup kesempatan regenerasi pemimpin sipil. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang berusaha memisahkan militer dari urusan sipil dan menumbuhkan demokrasi partisipatoris.
Sebagai presiden, Prabowo punya dua pilihan: mengulang pola kekuasaan Soeharto atau menulis babak baru dalam sejarah Indonesia. Jika ia memilih jalan pertama, maka Indonesia berpotensi mengalami kemunduran demokrasi dan konsolidasi oligarki yang lebih kuat. Namun jika ia memilih jalan kedua—dengan memperkuat supremasi sipil, membuka ruang partisipasi, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu—maka ia bisa menjadi pemimpin yang mengakhiri trauma Orde Baru, bukan mewarisinya.
Masyarakat tidak anti pada ketegasan, tapi menolak kekuasaan yang tak bisa dikontrol. Prabowo harus menyadari bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan sistem yang menjamin kesetaraan, transparansi, dan keadilan hukum.
Mengagumi Soeharto sebagai sosok pribadi sah-sah saja, tetapi meniru pola kekuasaannya secara utuh adalah kesalahan sejarah. Indonesia hari ini butuh pemimpin yang berpijak pada realitas demokrasi modern, bukan nostalgia masa lalu yang represif.
Desi Sommaliagustina













