Di setiap zaman, pendidikan selalu menjadi arena pertarungan makna. Ia dipandang bukan sekadar sarana menimba ilmu, tetapi juga instrumen politik yang dapat mengendalikan arah bangsa. Ketika pengetahuan disaring, kurikulum diarahkan, dan ruang berpikir dibatasi, pendidikan bertransformasi dari ruang emansipasi menjadi alat kekuasaan.
Pada masa kolonial Belanda, pendidikan sengaja dibatasi. Politik Etis yang disebut sebagai kebijakan “balas budi” sejatinya hanya membuka akses terbatas bagi kaum priyayi untuk menjadi aparatur kolonial. Sekolah dijadikan mesin loyalitas, bukan ruang pembebasan.
Pasca-kemerdekaan, pendidikan tetap menjadi arena perebutan. Di era Orde Baru, kurikulum dipolitisasi untuk menanamkan ideologi tunggal. Penataran P4 dan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila diarahkan bukan untuk mendorong dialog kritis, melainkan memastikan generasi muda patuh pada garis kebijakan rezim.
Era reformasi membuka ruang kebebasan yang lebih besar, tetapi intervensi kekuasaan tidak pernah benar-benar hilang. Pendidikan tetap menjadi instrumen legitimasi. Pergantian menteri kerap diikuti perubahan kurikulum secara drastis. Alih-alih stabil, publik justru disuguhi tarik-menarik kepentingan politik dan bisnis pendidikan.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pendidikan kembali menjadi sorotan. Slogan “Merdeka Belajar” yang diwariskan dari periode sebelumnya masih dipertahankan, namun arah kebijakannya semakin jelas diarahkan pada pencapaian agenda politik pemerintah.
Pertama, program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program unggulan ini dijadikan simbol keberpihakan pada rakyat kecil, namun menimbulkan polemik besar. Sesuai Pasal 31 UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), negara wajib mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan. Persoalannya, sebagian besar dana pendidikan justru tersedot untuk pembiayaan MBG. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, Stella Christie, bahkan menyebut MBG sebagai “investasi jangka panjang” bagi generasi emas Indonesia. Namun kritik datang dari akademisi hingga organisasi guru: bagaimana mungkin pendidikan dipersempit maknanya menjadi sekadar urusan makan, sementara kualitas guru, sarana belajar, dan pemerataan akses masih jauh dari ideal? Pendidikan bukan sekadar perut.
Kedua, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri. Gelombang protes mahasiswa pecah sejak awal 2025 karena kampus-kampus menaikkan UKT dengan alasan menyesuaikan biaya operasional. Pemerintah berdalih hal ini bagian dari “kemandirian perguruan tinggi”, namun publik menilainya sebagai bentuk abai terhadap mandat konstitusi bahwa pendidikan adalah hak warga negara, bukan barang dagangan. Kritik mahasiswa yang meluas hingga ke jalanan memperlihatkan bahwa negara cenderung mendorong logika pasar dalam pendidikan, bukan logika konstitusi.
Ketiga, tekanan terhadap kebebasan akademik. Beberapa dosen dan peneliti dilaporkan mendapat intimidasi setelah mengkritisi kebijakan pemerintah, baik terkait MBG, utang luar negeri, maupun tata kelola sumber daya alam. Padahal, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi secara jelas menjamin kebebasan akademik. Ironisnya, kampus yang semestinya menjadi benteng independensi malah dihadapkan pada intervensi birokrasi yang semakin kuat.
Regulasi sebagai Alat Kekuasaan, Pendidikan yang Dikendalikan
Secara normatif, regulasi pendidikan di Indonesia progresif. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan hak setiap warga negara memperoleh pendidikan. UU Sisdiknas No. 20/2003 menekankan pentingnya demokratisasi pendidikan. UU Guru dan Dosen No. 14/2005 menjamin martabat profesi pendidik. Bahkan alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan telah menjadi konsensus nasional.
Namun implementasinya sering kali melenceng. Dana pendidikan dialihkan untuk program yang lebih populer ketimbang pembenahan kualitas dasar. Dana BOS misalnya, kerap dijadikan proyek politik kepala daerah. Program MBG disusupkan dalam nomenklatur anggaran pendidikan, padahal substansinya lebih dekat pada bantuan sosial. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 bahkan menyebut pendidikan sebagai instrumen “sinkronisasi SDM” dengan arah pembangunan nasional. Pendidikan dipersempit menjadi alat produksi tenaga kerja, bukan ruang pembentukan manusia merdeka.
Ada tiga dimensi utama bagaimana pendidikan dikendalikan kekuasaan hari ini. Pertama, kurikulum yang politis. Perubahan kurikulum sering sarat kepentingan politik. Program “Profil Pelajar Pancasila” misalnya, secara substansi positif, tetapi jika disajikan dengan cara indoktrinatif, ia rawan jatuh pada pengulangan pola Orde Baru: mengajarkan doktrin, bukan dialog.
Kedua, akses pendidikan yang timpang. Kenaikan UKT memperlihatkan bahwa akses pendidikan tinggi makin elitis. Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) memang membantu sebagian kalangan, tetapi jangkauannya terbatas. Anak-anak dari keluarga miskin tetap menghadapi pintu sempit menuju perguruan tinggi berkualitas.
Ketiga, kebebasan akademik yang rapuh. Kasus dosen dan mahasiswa yang ditekan karena kritik memperlihatkan bahwa pendidikan belum sepenuhnya merdeka. Padahal, kebebasan akademik adalah fondasi utama agar kampus bisa melahirkan inovasi dan solusi atas persoalan bangsa.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pendidikan hari ini masih berfungsi sebagai ruang emansipasi atau justru domestikasi?
Jika pendidikan diarahkan semata-mata untuk mendukung agenda kekuasaan, maka generasi yang lahir adalah generasi penurut, bukan pemikir. Generasi yang pandai menghafal instruksi, tetapi gagap menghadapi perubahan global. Pendidikan kehilangan ruhnya sebagai jalan kebebasan.
Jalan ke Depan: Pendidikan sebagai Ruang Merdeka
Ada beberapa langkah mendesak agar pendidikan tidak terus-menerus dijadikan instrumen kekuasaan; pertama, jaminan kebebasan akademik harus ditegakkan secara nyata. Pemerintah perlu menghormati kritik, bukan membungkamnya. Kampus harus menjadi benteng independensi.
Kedua, reorientasi kurikulum. Kurikulum harus diarahkan pada pengembangan kemampuan kritis, literasi digital, dan etika publik, bukan sekadar doktrin atau program populis.
Ketiga, akses pendidikan inklusif. Negara wajib memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang kelas sosial, bisa menikmati pendidikan berkualitas. Bukan hanya memberi makan gratis, tetapi menjamin kualitas pengajar, sarana sekolah, dan iklim akademik yang sehat.
Keempat, transparansi anggaran. Alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan harus benar-benar digunakan untuk membenahi pendidikan, bukan ditarik untuk program politik.
Sebagai penutup, pendidikan tidak pernah netral. Ia bisa menjadi ruang pembebasan atau alat kekuasaan. Tugas bangsa ini adalah memastikan pendidikan berdiri di sisi yang benar: membebaskan, mencerdaskan, dan memanusiakan. Jika tidak, maka pendidikan hanya akan melahirkan generasi yang pandai tunduk, tetapi kehilangan daya untuk merdeka.
Desi Sommaliagustina













