Gerakan Rakyat: Strategi Politik Hukum Anies Baswedan di Luar Parpol?

Author PhotoDesi Sommaliagustina
04 Mar 2025
c24ab67b-b47c-4b91-98a6-4f4128f7fb21

Munculnya organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Rakyat yang dikaitkan dengan Anies Baswedan menandai dinamika baru dalam lanskap politik Indonesia. Gerakan ini muncul di tengah evaluasi terhadap efektivitas partai politik dalam mengakomodasi aspirasi publik. Fenomena ini menarik untuk dikaji dari perspektif politik hukum, khususnya dalam konteks peran ormas sebagai kendaraan politik diluar sistem kepartaian formal.

Secara yuridis, ormas diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sebagaimana diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Regulasi ini menegaskan bahwa ormas bukanlah partai politik dan tidak boleh menjadi alat untuk mencalonkan seseorang dalam pemilihan umum. Namun, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa ormas sering menjadi kendaraan politik informal.

Misalnya, sebelum Reformasi, Golkar beroperasi lebih sebagai ormas daripada partai politik konvensional. Demikian pula, kelompok seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memiliki pengaruh politik yang signifikan, meskipun secara resmi bukan partai. Oleh karena itu, Gerakan Rakyat dapat berfungsi sebagai platform mobilisasi politik yang memberi ruang bagi Anies Baswedan untuk membangun basis dukungan tanpa terkendala mekanisme internal partai.

Celah atau Penyempitan Ruang?
Pendekatan politik hukum terhadap fenomena ini harus mempertimbangkan dua aspek. Pertama, kebebasan berserikat dan berpendapat. Konstitusi menjamin hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul (Pasal 28E ayat 3 UUD 1945). Dalam konteks ini, pembentukan ormas yang mengusung ide-ide perubahan politik merupakan bagian dari hak asasi yang dilindungi hukum.

Kedua, potensi abuse of law dalam regulasi ormas. Perubahan regulasi ormas pada era Jokowi melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 memperkuat kontrol negara terhadap ormas, termasuk pembubaran tanpa melalui pengadilan. Jika Gerakan Rakyat dianggap sebagai kendaraan politik terselubung, ada potensi pemerintah menggunakan regulasi ini untuk membatasi ruang geraknya.

Fenomena Gerakan Rakyat juga mencerminkan krisis kepercayaan terhadap partai politik. Banyak aktor politik mencari jalur alternatif untuk membangun kekuatan tanpa harus tunduk pada oligarki partai. Jika pola ini berlanjut, ada kemungkinan ormas menjadi “partai bayangan” yang berfungsi sebagai instrumen politik tanpa kewajiban transparansi dan akuntabilitas seperti partai politik. Hal ini juga bisa menjadi pelembagaan politik baru di luar mekanisme kepartaian konvensional. Jika dikelola dengan baik, ormas semacam ini bisa menjadi wadah partisipasi politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap aspirasi rakyat.

Gerakan Rakyat sebagai kendaraan politik bagi Anies Baswedan menunjukkan celah dalam sistem politik hukum Indonesia, dimana ormas dapat berfungsi sebagai alat mobilisasi politik tanpa terikat regulasi partai politik. Ini bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi demokrasi. Jika negara mempersempit ruang gerak ormas dengan regulasi ketat, hal ini berpotensi menghambat kebebasan berserikat. Sebaliknya, jika ormas ini dikelola secara transparan, bisa jadi ia justru menawarkan alternatif baru dalam politik Indonesia yang lebih berbasis gerakan rakyat ketimbang oligarki partai.

Pertanyaannya, apakah pemerintahan saat ini akan membiarkan fenomena ini berkembang atau justru akan memperketat regulasi guna membatasi ruang gerak ormas dalam politik? Jawabannya akan sangat bergantung pada dinamika kekuasaan dan bagaimana politik hukum di Indonesia akan berkembang kedepan. Patut kita nantikan, langkah apa yang akan diambil oleh koalisi pemerintahan saat ini!

Artikel Terkait

Rekomendasi