Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet periode 2024-2029 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10/2024). Pelantikan Mayor Teddy didasari atas Surat Keputusan Presiden Nomor 143P/2024 tentang Pengangkatan Sekretaris Kabinet yang ditandatangani Prabowo per 20 Oktober 2024.
Dwifungsi TNI adalah sebuah doktrin yang pernah berlaku di Indonesia, di mana TNI memiliki peran ganda, yaitu sebagai kekuatan pertahanan negara dan juga sebagai kekuatan sosial-politik. Doktrin ini memberikan TNI peran yang sangat besar dalam kehidupan sipil, termasuk dalam pemerintahan dan pembangunan. Penunjukan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet menjadi sorotan dan polemik saat ini.
Seharusnya, seorang perwira aktif tidak dapat menduduki jabatan sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Undang-Undang TNI tersebut mengatur bahwa prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Tetapi ini tidak dilakukan oleh Mayor Teddy.
Mengapa kasus Mayor Teddy menjadi sorotan? Hal itu dikarenakan penunjukan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) Merah Putih. Tentunya hal ini kembali memunculkan perdebatan mengenai dwifungsi TNI. Banyak pihak yang berpendapat bahwa penunjukan ini melanggar Undang-Undang TNI yang secara tegas memisahkan peran TNI dan sipil. Seorang prajurit aktif seharusnya tidak menduduki jabatan sipil, hal ini tentunya memicu pelanggaran Undang-Undang TNI. Tidak sampai disitu saja, kekhawatiran akan adanya konflik kepentingan antara tugas militer dan tugas sipil yang diemban oleh Mayor Teddy, apalagi saat ini beliau masih berstatus perwira aktif di tubuh TNI.
Merujuk hal demikian ada juga beberapa kalangan melihat hal ini sebagai kemunduran demokrasi, di mana militer kembali memiliki pengaruh yang besar dalam pemerintahan.
Pro dan Kontra Terkait Kasus Mayor Teddy
Hal ini sebagaimana disampaikan organisasi yang bergerak di bidang demokrasi, keamanan, dan HAM, SETARA Institute, dalam siaran pers yang dibuat pada Selasa (22/10/2024). Pengangkatan Mayor (Inf) Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) dalam Kabinet Merah-Putih di bawah Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto perlu dilihat dalam kerangka keberlanjutan reformasi TNI.
Pengangkatan Mayor Teddy melanggar ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Dalam perkembangannya persoalan ini direspons, salah satunya oleh Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang menjelaskan bahwa struktur Seskab kini berada di bawah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI, sehingga Mayor Teddy tidak perlu pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan TNI.
Berkaitan dengan persoalan ini, SETARA Institute berpendapat lain terkait kasus ini. Justifikasi perubahan struktur Seskab dari semula setingkat Menteri, kemudian menjadi di bawah Mensesneg tidak serta merta membuat posisi tersebut masuk ke dalam posisi jabatan sipil yang dapat diduduki Prajurit TNI aktif. Sebab, posisi Seskab maupun Mensesneg tidak termasuk ke dalam jabatan sipil sebagaimana ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI.
Artinya, ketentuan yang berlaku seharusnya kembali ke ayat (1)nya, yakni menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Menyamakan ketentuan yang berlaku, seperti terhadap Sekretaris Militer Presiden, sebagai justifikasi pembenaran Seskab diduduki prajurit aktif adalah hal keliru. Sebab secara eksplisit, posisi Sekretaris Militer Presiden masuk dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yakni jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa perlu melakukan pensiun dini.
Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI mengatur dengan spesifik perihal jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa pensiun dini, yaitu: jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Dengan ketentuan yang rinci tersebut, semestinya mudah bagi Presiden untuk meninjau ulang pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab atau memerintahkan yang bersangkutan untuk mundur dari dinas kemiliteran. Menjadikan perubahan struktur Seskab sebagai justifikasi penempatan Mayor Teddy hanya memperlihatkan kebijakan yang tidak berbasis pada ketentuan UU TNI serta mengingkari semangat reformasi TNI. Transisi kepemimpinan nasional yang semestinya membawa asa reformasi TNI sebagai amanat reformasi 1998 untuk mewujudkan TNI yang kuat dan profesional pada bidang pertahanan negara, ternoda dengan kebijakan penempatan ini.
Jika kemudian Revisi UU TNI dilakukan hanya untuk mengakomodasi pilihan Presiden atas Seskab yang dia kehendaki, maka semakin sempurnalah penilaian banyak ahli mengenai autocratic legalism yang semakin mendorong kemunduran demokrasi Indonesia. Presiden, hingga para menteri dan pimpinan lembaga, semestinya tetap mendukung dan memperkuat profesionalitas TNI, dengan tidak memberikan jabatan-jabatan tertentu dan/atau memberikan tugas dan kewenangan di luar tugas pertahanan dan tugas perbantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Reformasi TNI harus berjalan dua arah atau timbal balik: TNI fokus melakukan reformasi dan presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat Konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam kasus ini tentunya ada pihak pendukung maupun tidak.
Bagi pihak pendukung tentunya berargumen bahwa dengan perubahan struktur Seskab yang kini berada di bawah Mensesneg, maka jabatan tersebut tidak lagi setingkat menteri sehingga tidak melanggar aturan, seperti hal yang disampaikan oleh Ketua Harian Partai Gerindra tersebut. Beberapa berpendapat lain bahwa latar belakang militer Mayor Teddy dapat memberikan efisiensi dalam koordinasi antara pemerintah dan TNI.
Sedangkan bagi pihak penentang terkait hal ini, tentunya akan berargumen lain dalam persoalan ini bahwa prinsip sipil supremasi harus dijunjung tinggi. Militer harus kembali ke barak dan fokus pada tugas pertahanan negara. Tentunya penunjukan ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk dan membuka peluang bagi militer untuk kembali ikut campur dalam politik.
Bangaimana Pendapat Pakar Hukum Tata Negara? Salah satu pakar hukum yang menentang terkait hal ini adalah pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Feri Amsari, menjelaskan adanya ketidakabsahan dalam penunjukkan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet, meskipun Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029 pada Senin (21/10/2024) yang berlaku sejak tanggal diundangkan, yakni 21 Oktober 2024.
Melalui Perpres 139/2024, Presiden Prabowo Subianto juga membubarkan Sekretariat Kabinet. Menurut Feri, Perpres 139/2024 tidak sah karena Perpres tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa secara hierarki peraturan perundang-undangan, tingkatan Perpres berada di bawah Undang-Undang. Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Implikasi dan Dampak
Kasus Mayor Teddy ini memiliki implikasi yang luas, antara lain; Ketidakpastian Hukum: Terdapat ketidakjelasan hukum terkait status dan peran Mayor Teddy. Masyarakat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berseberangan. Situasi politik yang tidak stabil akibat kontroversi ini dapat menimbulkan keraguan bagi investor asing. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, kasus ini dapat melemahkan demokrasi di Indonesia. Kasus Mayor Teddy menjadi pengingat bahwa isu dwifungsi TNI masih relevan hingga saat ini. Penting bagi kita untuk terus mengawasi perkembangan situasi dan memastikan bahwa TNI benar-benar kembali ke barak dan menjalankan tugas pokoknya sebagai kekuatan pertahanan negara.
Berdasarkan asas hukum lex superior derogat legi inferiori, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Asas ini berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan, sehingga seharusnya materi muatan Perpres tidak bertentangan dengan materi muatan UU TNI yang tingkatannya berada di atasnya.