Sejak diumumkannya peningkatan kembali kasus Covid-19 di beberapa wilayah Indonesia awal Juni 2025, ruang publik seolah diguncang oleh dua hal sekaligus: kepanikan dan narasi pengalihan. Di tengah ketegangan politik pasca-pelantikan pemerintahan baru, perhatian terhadap isu Covid mendadak dimunculkan secara masif.
Ironisnya, bukan sebagai strategi kesiapsiagaan nasional, tetapi justru dengan kesan bahwa pandemi dijadikan alat untuk mereduksi kritik, mengaburkan kegaduhan elit, bahkan membungkam suara publik terhadap kebijakan yang kontroversial.
Apakah ini yang disebut “pola lama” yang kembali hadir dalam “kemasan baru”? Mari kita telaah.
Covid sebagai Alat Kekuasaan?
Kita tentu tidak menafikan fakta bahwa Covid-19 adalah persoalan serius yang berdampak global. Namun, publik juga tidak buta sejarah. Dalam banyak rezim, pandemi pernah menjadi dalih untuk memperkuat kontrol negara, memberangus kebebasan sipil, dan menunda akuntabilitas. Indonesia pun pernah melaluinya. Sejumlah kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan PPKM dijalankan tanpa transparansi data yang memadai. Pembelanjaan publik untuk pengadaan alat kesehatan, vaksin, dan bansos sempat menjadi ladang korupsi besar-besaran.
Kini, saat pemerintahan baru mulai berjalan dengan wajah populis dan janji-janji perubahan, isu Covid kembali digulirkan—tepat ketika sorotan publik mengarah pada kegagalan penanganan konflik agraria, inflasi bahan pokok, hingga potensi pelemahan KPK oleh revisi UU baru yang disusun secara kilat.
Pola ini tidaklah baru. Dalam teori politik, dikenal konsep “shock doctrine” yang dicetuskan oleh Naomi Klein: pemerintah kerap memanfaatkan krisis (baik yang nyata maupun dibesar-besarkan) untuk menjalankan agenda yang sulit diterima publik dalam kondisi normal.
Dalam beberapa hari terakhir, pernyataan dari otoritas kesehatan mulai ramai menyebut adanya peningkatan kasus Covid-19. Media-media besar segera menyoroti potensi varian baru, meskipun data spesifik belum tersedia secara rinci. Pemerintah daerah diminta bersiap untuk kembali menerapkan protokol kesehatan ketat. Padahal, menurut laporan WHO per Mei 2025, pandemi telah secara resmi dinyatakan dalam fase “kontrol global”, bukan lagi “darurat”.
Ironisnya, isu ini muncul bersamaan dengan sejumlah isu panas nasional: pembatalan sepihak terhadap revisi UU TNI yang menuai protes akademisi dan mahasiswa; kenaikan harga beras dan BBM yang tidak dijelaskan secara transparan;isu nepotisme dalam pengangkatan pejabat tinggi BUMN dan kementerian oleh elit politik baru;terbongkarnya laporan penggunaan anggaran tak wajar oleh sejumlah kementerian dalam transisi kekuasaan.
Bukankah ini terlalu “kebetulan”? Atau lebih tepatnya, disengaja agar publik teralihkan?
Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang berani transparan—bukan yang lihai menciptakan ketakutan demi meredam kritik. Jika memang terjadi peningkatan kasus Covid, maka semestinya informasi disampaikan secara terbuka, akurat, dan proporsional. Alih-alih membangun kembali atmosfer ketakutan tanpa data yang kuat, seharusnya pemerintah menyiapkan protokol penanganan berbasis sains, bukan sekadar instrumen kekuasaan.
Sayangnya, dalam konteks hari ini, kecenderungan untuk mengelola opini publik lebih besar daripada keinginan untuk memperkuat kapasitas kesehatan masyarakat. Pemerintah justru cenderung cepat membangun narasi darurat, ketimbang membenahi sistem komunikasi risiko yang terbuka.
Apa yang publik takutkan bukanlah virus itu sendiri, melainkan virus kekuasaan yang menjangkiti ruang demokrasi. Ketika krisis digunakan untuk mengalihkan perhatian, maka yang sebenarnya terancam bukan hanya kesehatan fisik, tapi juga kesehatan sistem politik kita.
Demokrasi Tak Boleh Lumpuh oleh Ketakutan yang Direkayasa
Dalam konteks negara hukum, penting untuk diingat bahwa kebijakan berbasis ketakutan yang tidak proporsional bisa menjadi bentuk pelanggaran hak asasi. Hak untuk mengetahui, hak untuk menyatakan pendapat, serta hak atas informasi yang benar adalah fondasi demokrasi. Menghidupkan kembali atmosfer pandemi tanpa transparansi berisiko menimbulkan pembungkaman halus terhadap warga negara.
Jangan sampai kita kembali ke situasi di mana kebijakan publik dijalankan secara tertutup dengan alasan “situasi darurat”. Pengalaman masa lalu telah menunjukkan bagaimana pandemi menjadi ruang abu-abu untuk menunda pemilu daerah, melemahkan fungsi pengawasan DPR, serta membungkam gerakan masyarakat sipil dengan dalih pembatasan sosial.
Bukankah ironis jika pemerintahan baru yang mengusung jargon reformasi justru meminjam taktik lama: pengalihan isu melalui krisis?
Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Pertama, pemerintah harus membuka semua data terkait Covid-19 kepada publik secara real time, lengkap dengan hasil uji laboratorium, data sebaran, dan langkah mitigasi. Tidak boleh ada monopoli informasi oleh Kemenkes, apalagi jika digunakan untuk manuver politik.
Kedua, media massa harus menjalankan fungsinya secara kritis. Jangan terjebak pada narasi tunggal yang dibangun oleh negara. Jurnalisme investigatif perlu hadir untuk menelusuri apakah benar ada darurat kesehatan, atau hanya darurat citra kekuasaan.
Ketiga, masyarakat sipil dan akademisi perlu lebih aktif mengawal arah kebijakan. Apabila terlihat adanya kecenderungan menjadikan krisis sebagai alat kekuasaan, maka kritik harus dikemukakan secara terbuka dan berbasis data.Jangan sampai kita terjebak deja vu!
Kita tidak menuduh bahwa seluruh narasi Covid hari ini adalah rekayasa. Namun kita punya hak untuk mencurigai, untuk bertanya, dan untuk tidak begitu saja percaya. Demokrasi tidak tumbuh dari kepatuhan membuta, tetapi dari keberanian untuk mengoreksi.
Apabila rezim baru mengulangi pola lama—menggunakan krisis untuk menutup borok—maka sesungguhnya tak ada yang baru dari wajah kekuasaan hari ini. Ia hanya berkamuflase. Mengganti topeng, tetapi memainkan sandiwara yang sama.
Maka awas, jangan sampai kita kembali dijebak pada pengalihan isu berjubah darurat kesehatan. Sebab yang sedang sakit mungkin bukan tubuh kita, tapi nurani kekuasaan.