Kasus yang mencuat terkait WhatsApp grup “Orang-Orang Senang” dalam perkara di Pertamina menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai aspek hukum komunikasi digital dalam korporasi. Dari perspektif hukum perdagangan elektronik dan hukum korporasi, perbincangan di dalam grup tersebut bisa memiliki implikasi serius, terutama dalam hal transparansi, etika bisnis, dan potensi pelanggaran hukum (indikasi korupsi).
Secara hukum, WhatsApp grup sering dianggap sebagai ruang komunikasi privat. Namun, dalam konteks pembuktian perkara hukum, isi percakapan dalam grup dapat menjadi alat bukti elektronik yang sah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), informasi elektronik dan dokumen elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti lainnya, selama dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Jika dalam grup tersebut terdapat percakapan yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, atau persekongkolan dalam proyek di Pertamina, maka isi percakapan tersebut dapat dijadikan alat bukti dalam penyelidikan dan persidangan.
Implikasi Hukum dalam Konteks Korporasi
Hukum korporasi dan kepatuhan (corporate compliance) menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan. Jika percakapan dalam grup WhatsApp tersebut mengarah pada penyimpangan dalam proses bisnis, ada beberapa aturan hukum yang bisa dijadikan dasar pertanggungjawaban, seperti: Pertama, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika terdapat indikasi suap atau gratifikasi, maka Pasal 12B UU ini bisa digunakan untuk menjerat pihak yang menerima atau memberi gratifikasi yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kedua, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Direksi dan komisaris memiliki tanggung jawab fidusia untuk bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan. Jika ada keputusan bisnis yang diambil berdasarkan komunikasi dalam grup tersebut dan merugikan perusahaan, maka ada potensi pelanggaran Pasal 97 UU PT terkait prinsip fiduciary duty.
Ketiga, Undang-Undang ITE dan KUHP. Jika isi percakapan dalam grup tersebut mengandung unsur pencemaran nama baik atau penyebaran informasi palsu yang merugikan pihak lain, maka dapat dijerat Pasal 27 atau Pasal 28 UU ITE. Selain itu, jika terbukti ada konspirasi untuk melakukan kejahatan, Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana juga bisa digunakan.
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan bagi korporasi untuk lebih memperketat kebijakan komunikasi internal. Perusahaan harus memiliki regulasi internal yang jelas terkait penggunaan media sosial dan platform komunikasi digital dalam konteks bisnis. Penggunaan grup WhatsApp oleh pejabat atau pegawai perusahaan sebaiknya tetap dalam koridor profesional dan tidak digunakan untuk membahas hal-hal yang berpotensi melanggar hukum.
WhatsApp grup “Orang-Orang Senang” dalam kasus Pertamina menunjukkan bagaimana komunikasi digital dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini memudahkan komunikasi, tetapi di sisi lain, dapat menjadi bukti hukum yang mengungkap dugaan penyimpangan.
Dari perspektif hukum, isi percakapan dalam grup ini tidak bisa dianggap sekadar obrolan biasa jika mengandung unsur pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pejabat dan pegawai korporasi harus lebih berhati-hati dalam menggunakan media komunikasi digital, terutama dalam konteks bisnis yang melibatkan kepentingan publik dan negara. Jika benar ada percakapan dan atau mengindikasikan WhatsApp grup dibuat dengan tujuan untuk perencanaan korupsi, ini benar-benar parah!