Perlindungan terhadap lingkungan hidup yang sehat dan baik selalu menghadapi berbagai tantangan, baik di Indonesia maupun secara global. Dampak krisis lingkungan akibat kerusakan ekosistem sudah terasa, seperti kemarau panjang, kekeringan, banjir, badai, dan lainnya.
Mukri Friatna, Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, berpendapat bahwa pemerintah tidak serius dalam melindungi lingkungan. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan seperti Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang memungkinkan proyek PSN mengabaikan isu lingkungan dengan diskresi Menteri. Dampaknya termasuk kerusakan ekosistem dan kriminalisasi masyarakat yang menentang proyek-proyek tersebut.
Mukri mencatat ada empat kebijakan pemerintah yang berpotensi memperburuk krisis lingkungan pada 2025. Pertama adalah proyek food estate yang bertujuan untuk ketahanan pangan. Proyek serupa di masa lalu, termasuk pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terbukti gagal. Proyek ini malah memicu konflik agraria, degradasi lahan gambut, dan penggusuran masyarakat adat. Pemerintah menargetkan lahan food estate seluas 2 juta hektar di Papua dan 770 ribu hektar di Kalimantan Tengah. Selain itu, proyek ini juga meningkatkan deforestasi dan degradasi lingkungan, yang diperburuk dengan perkebunan sawit, pertambangan, dan industri ekstraktif lainnya.
Mukri memprediksi deforestasi akan meningkat hingga 600 ribu hektar pada 2025, sesuai dengan laporan Environmental Outlook 2025 WALHI yang bertema “Melanjutkan Tersesat, Atau Kembali Ke Jalan yang Benar.
Kedua, krisis lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran tambang dan pesisir semakin memperburuk keadaan. Mukri mengungkapkan bahwa pertambangan di kawasan pesisir mengancam 35 ribu keluarga nelayan dan menyebabkan 3.197 desa pesisir tercemar limbah tambang. Operasi smelter, yang menghasilkan limbah berbahaya mengandung racun, turut memperparah pencemaran ini. Sebanyak 55 pulau kecil telah dijadikan lokasi tambang mineral dan batubara, yang merusak ekosistem laut serta kehidupan masyarakat adat. Krisis ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan dampak pencemaran udara, pesisir pantai, dan sungai akibat operasional smelter.
Ketiga, konflik agraria juga menjadi masalah besar. Walhi mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat sedikitnya 346 konflik agraria yang melibatkan sekitar 638 ribu hektar lahan dan 135 ribu keluarga. Konflik ini diperkirakan akan meningkat pada 2025, terutama karena kebijakan pemerintah seperti UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yang mempermudah alih fungsi lahan untuk kepentingan investasi.
Keempat, masalah kriminalisasi dan kejahatan lingkungan semakin marak. Mukri mengkritik Pasal 162 UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara, yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan. Beberapa kasus yang menjadi sorotan antara lain adalah 12 nelayan di Provinsi Bangka Belitung yang dipanggil polisi setelah menentang aktivitas kapal isap pasir PT Timah, serta tiga warga desa Alasbuluh di Banyuwangi yang dikriminalisasi karena menentang tambang galian C. Di pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, tiga warga juga dipanggil polisi karena menentang aktivitas pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana. Aktivis lingkungan juga turut menjadi korban kriminalisasi, seperti yang dialami Direktur Walhi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, yang dipanggil polisi setelah mendampingi masyarakat Desa Pasar Seluma yang menentang tambang pasir besi PT FLBA.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Public Engagement Walhi, Adam Kurniawan, menambahkan bahwa krisis lingkungan telah menjadikan lokasi sekitar proyek PSN rentan terhadap bencana. Sebagai contoh, banjir di Morowali semakin intens sejak wilayah tersebut dijadikan pusat industri nikel (Indonesia Morowali Industrial Park), dan di Halmahera Tengah, Maluku Utara, banjir besar melanda enam desa. Adam menegaskan bahwa hampir seluruh proyek PSN, khususnya yang berhubungan dengan industri pertambangan dan bendungan, tidak memiliki dokumen yang memadai terkait potensi bencana, yang semakin meningkatkan kerentanannya terhadap bencana alam.
Sumber :
[1] https://www.cnnindonesia.com/tv/20250106070918-411-1184000/video-ancaman-krisis-lingkungan-mengintai-indonesia
[2] https://mediaindonesia.com/humaniora/735190/walhi-prediksi-deforestasi-2025-meningkat-signifikan
[3] https://www.menlhk.go.id/news/indonesia-serukan-3-isu-lingkungan-dan-pembangunan-berkelanjutan-di-aalco-ke-61/
[4] https://www.youtube.com/watch?v=fSGqAmabOQM
[5] https://www.hukumonline.com/berita/a/4-catatan-walhi-soal-krisis-lingkungan-yang-makin-parah-2025-lt678b0960ce70b/
[6] https://www.pertamina.com/id/news-room/news-release/aktif-lestarikan-lingkungan-pertamina-raih-penghargaan-tertinggi-the-guardian-di-indonesia-green-award-2025