Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, menanggapi usulan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diubah menjadi badan ad hoc yang hanya aktif saat pemilu. Menurutnya, gagasan tersebut kurang tepat mengingat pentingnya peran KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tetap yang independen. Ia justru mendorong penguatan tugas dan fungsi KPU dalam menjaga demokrasi, termasuk memperluas peran mereka dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat.
“Saya melihat bobot tugas KPU di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota terlalu besar untuk dijadikan badan ad hoc. Lebih baik kita memperkuat tugas mereka, seperti pemberdayaan dan penyadaran akan pentingnya peran pemilih,” ujar Aria Bima saat ditemui di Rumah Pemenangan Pramono dan Rano Karno, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (24/11/2024).
Aria mengakui bahwa ritme kerja KPU cenderung meningkat hanya pada periode menjelang pemilu, tetapi ia menekankan perlunya simulasi untuk memastikan bahwa proses pemilu semakin transparan dan efektif, terutama dalam hal perlindungan hak pemilih. Ia menekankan pentingnya jaminan bahwa hak suara setiap individu dihormati dan dilindungi selama pemilu.
“Pemilih harus dijamin haknya, bukan hanya untuk memastikan suara mereka dihitung, tetapi juga agar mereka yakin bahwa pemimpin yang dipilih akan memperjuangkan hak dan kewajiban rakyat. Ini memerlukan penguatan mekanisme perlindungan hak-hak pemilih yang lebih baik,” jelasnya.
Politikus PDIP ini juga menyoroti perlunya peningkatan kompetensi KPU dalam menjaga suara rakyat, tidak hanya saat pemungutan suara di tempat pemungutan suara (TPS), tetapi juga dalam mendukung pendidikan politik bagi masyarakat. Aria menyebut bahwa KPU perlu berperan dalam mendewasakan pemilih melalui berbagai program dan inisiatif edukasi.
“KPU harus memiliki peran lebih dari sekadar penyelenggara teknis pemilu. Mereka bisa mendukung proses pendewasaan politik dengan menyelenggarakan pelatihan bagi calon legislatif dan eksekutif, serta mendidik masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik,” kata Aria.
Aria mengusulkan agar KPU turut menyelenggarakan pelatihan singkat bagi calon anggota legislatif dan eksekutif untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memahami tugas-tugas pemerintahan. Hal ini, menurutnya, penting mengingat jumlah kandidat yang sangat besar, mencapai ratusan ribu, di tingkat DPR RI, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota.
“Tugas demokrasi kita semakin kompleks. KPU bisa mengadakan kursus singkat satu hingga dua bulan untuk para kandidat agar mereka lebih siap menjalankan tanggung jawab mereka setelah terpilih,” tambahnya.
Sebelumnya, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Saleh Daulay, mengusulkan KPU dijadikan lembaga ad hoc yang hanya aktif selama dua tahun, mencakup persiapan dan pelaksanaan pemilu. Menurutnya, usulan ini bertujuan untuk menghemat anggaran negara, terutama di tahun-tahun ketika tidak ada pemilu.
Namun, Aria Bima menegaskan bahwa solusi terbaik bukanlah mengubah KPU menjadi badan ad hoc, melainkan memperkuat kelembagaan KPU dan Bawaslu untuk mendukung proses demokrasi yang lebih baik. Ia menilai bahwa efisiensi anggaran tetap bisa dicapai tanpa mengurangi peran strategis lembaga ini dalam menjaga keutuhan demokrasi.