Sudah kesekian kalinya, terdapat pernyataan yang amat mengguris nurani rakyat. Anggota DPR-RI, Ahmad Sahroni menyebut orang-orang yang menginginkan pembubaran DPR sebagai “tolol” bukan sekadar kontroversi biasa. Ini lebih dari sebuah simbol dari pergeseran budaya politik yang membahayakan kepercayaan publik terhadap lembaga terhormat seperti DPR.
Ketika rakyat dengan suara lantang menyuarakan ketidakpuasan dan bahkan meminta pembubaran DPR, sesungguhnya mereka sedang menyampaikan sinyal kuat tentang ketidakyakinan mereka terhadap wakil-wakil yang duduk di kursi legislatif. Mereka bukan hanya marah atau emosional, melainkan mencerminkan frustrasi mendalam atas sejumlah kegagalan: korupsi yang merajalela, ketidakadilan sosial, kebijakan yang tak menyentuh akar masalah rakyat, hingga komunikasi yang kerap terkesan jauh dari realitas masyarakat.
Namun, respon yang keluar dari mulut seorang anggota DPR justru mengecewakan dan memperburuk keadaan. Menggunakan kata “tolol” untuk menyebut mereka yang mengkritik dan menyuarakan aspirasi adalah tindakan yang tak hanya tidak pantas, tapi juga mencerminkan ketidaksensitifan yang serius. Bagaimana bisa seorang wakil rakyat yang seharusnya menjadi cermin dan penyalur aspirasi rakyat mengabaikan penderitaan mereka dan bahkan merendahkan suara mereka?
Ini bukan kali pertama pejabat publik melontarkan ucapan kurang pantas yang memperkeruh suasana. Tapi spesialnya, ketika yang berbicara adalah seorang anggota DPR, hal ini semakin memperlihatkan jurang pemisah antara elite politik dan rakyat biasa. Pernyataan seperti ini menjadi bukti nyata bahwa masih ada anggota legislatif yang belum memahami bahwa jabatan mereka adalah amanah sekaligus tanggung jawab besar terhadap masyarakat.
Masyarakat yang mendengar dan melihat pernyataan tersebut pasti bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar peduli pada suara mereka? Ataukah mereka sudah terlalu jauh dari realitas dan hidup dalam gelembung politik yang membuat mereka lupa bahwa fungsi utama DPR adalah melayani, melindungi, dan merepresentasikan rakyat?
Kata-kata menyakitkan seperti ini tidak mencerminkan sikap seorang negarawan. Seorang pejabat publik idealnya harus mengedepankan empati dan dialog yang konstruktif, apalagi ketika menghadapi kritik yang memang lahir dari keresahan rakyat terhadap kondisi yang ada.
Di balik tuntutan pembubaran DPR, tersimpan sebuah pesan kuat tentang kekecewaan yang mendalam dan harapan besar agar institusi ini bisa berubah menjadi lebih baik dan akuntabel. Mengabaikan pesan itu dan malah menyerang dengan kata-kata kasar hanya akan memperlihatkan betapa rapuhnya komunikasi antara rakyat dan wakil mereka.
Momentum ini harus dijadikan bahan refleksi oleh seluruh anggota DPR dan pejabat publik lainnya. Bahasa kasar dan sikap acuh tak acuh terhadap kritik publik hanya akan menambah jarak dan mengikis legitimasi demokrasi yang ingin kita bangun bersama.
Lebih dari sekadar kritik, ini menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam budaya politik di Indonesia. Demokrasi bukan sekadar soal perolehan suara dan kursi, tapi bagaimana membangun hubungan yang sehat dan saling menghormati antara rakyat dan wakilnya.
Publik membutuhkan penguatan kepercayaan, dan itu dimulai dengan komunikasi yang terbuka, menghargai setiap aspirasi, serta merespons dengan kepala dingin dan hati terbuka, bukan dengan cercaan yang merendahkan.
Ketika pejabat publik memasang sikap defensif dan melecehkan rakyat yang mengkritik, itu tandanya ada masalah serius dalam tata kelola politik dan kultur birokrasi yang harus segera diperbaiki.
Kini, DPR seharusnya tidak hanya sibuk mempertahankan eksistensi dan posisi, tetapi juga aktif mendengarkan dan merangkul rakyat yang selama ini merasa terabaikan. Hari ini, suara rakyat bukan untuk dibungkam, melainkan untuk dijawab dengan aksi nyata.
Langkah reformasi politik harus dimulai dari sikap saling menghargai, membangun empati, dan menjadikan kritik sebagai pendorong perbaikan, bukan alasan untuk menjatuhkan karakter pengkritik.
Pernyataan Ahmad Sahroni menjadi pengingat keras bahwa jalan menuju demokrasi sejati masih penuh tantangan, dan salah satunya adalah mengubah sikap pejabat publik agar lebih mendekatkan diri dengan rakyat, bukan menjauhkan.Masyarakat berhak menuntut wakilnya tidak hanya cakap berbicara, tapi juga bijak menanggapi kritik demi kemajuan bangsa yang hakiki dan berkeadilan.
Inilah sisi lain demokrasi yang perlu kita jaga bersama: menghormati suara rakyat dengan cara yang layak, jauh dari penghinaan dan sikap meremehkan.
Tanpa perubahan sikap mendasar, potensi krisis kepercayaan akan terus berlanjut, dan DPR akan terus menjadi sasaran kemarahan rakyat bukan karena salah mereka sendiri, tapi karena pandangan mereka terhadap institusi ini.
Akhirnya, ini bukan hanya soal kata “tolol” yang terlontar, tapi soal bagaimana wakil rakyat memperlakukan amanah yang diberikan kepadanya: dengan hormat, empati, dan tanggung jawab yang sungguh-sungguh.
Mhd Rizky Andana Saragih, S.H














