Tumbuhnya Benih Otoritarianisme di Bumi Merah Putih

Author PhotoAditya Andela Pratama, S.H.,M.H.
03 Jun 2025
gambar Helmi Hasan dan Mian Gubernur dan Wakil Gubernur Baru Provinsi Bengkulu periode 2025-2029
gambar Helmi Hasan dan Mian Gubernur dan Wakil Gubernur Baru Provinsi Bengkulu periode 2025-2029

Provinsi Bengkulu, yang sekarang disapa dengan penuh hormat sebagai “Bumi Merah Putih” menyimpan jejak historis yang tak ternilai bagi perjalanan bangsa. Tanah Bengkulu tempat Ibu Fatmawati dilahirkan, sosok agung yang menjahit Bendera Merah Putih, sebagai simbol pemersatu negeri. Jahitan itu bukan sekadar hasil tangan, melainkan rajutan harapan yang dalam, menyatukan segenap elemen bangsa dalam satu tujuan luhur, menjunjung tinggi nilai musyawarah, saling menghargai, dan mendengarkan satu sama lain sebagai sesama anak bangsa. Bumi Merah Putih bukan hanya tentang warna merah dan putih, melainkan pesan moral yang kuat bahwa dari Bengkulu, semangat kemerdekaan yang sejati pernah disulam dengan kesadaran dan cinta tanah air. Bengkulu bukan sekadar saksi, tapi pelaku dalam merumuskan makna kemerdekaan Indonesia yang hakiki.

Kemerdekaan sejatinya bukan semata kebebasan dari belenggu penjajahan fisik, melainkan juga kebebasan menyampaikan pendapat atas setiap persoalan bangsa. Namun, di tengah semangat itulah Provinsi Bengkulu yang memikul kehormatan sebagai “Bumi Merah Putih” justru menghadapi ujian berat dengan tumbuhnya benih-benih otoritarianisme yang perlahan-lahan mengikis makna luhur tanah kelahiran sang penjahit sang saka merah putih. Dalam lanskap kekuasaan yang menutup diri, suara rakyat mulai dianggap sebagai celaan, bukan masukan. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan dalam etika musyawarah dan semangat mufakat, kini memilih jalan absen dari dialog dan menghindar dari tanggung jawab moral. Kritik dikerdilkan dianggap “cacian dan sumpah serapah” bahkan, lebih jauh ruang diskusi publik mulai kehilangan napasnya. Bengkulu, tampaknya, tengah berhadapan dengan wajah baru otoritarianisme yang halus dalam bentuk, namun tajam dalam dampak. Apakah masih layak Bengkulu disebut bumi merah putih?

Otoritarianisme adalah sejenis penyakit kekuasaan yang tak mudah ditemukan obat penawarnya. Ia tidak hanya memanjakan mereka yang memegang kendali, tetapi juga membius nurani, meninabobokan, bahkan menjauhkan pemimpin dari suara rakyat yang seharusnya didengar. Dalam situasi semacam ini, kritik yang sejatinya bagian dari hak konstitusional warga negara diartikan secara keliru sebagai bentuk celaan atau sumpah serapah. Sebuah kekeliruan yang tak hanya mencederai nilai-nilai dasar dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tetapi juga menyalahi semangat luhur etika penyelenggaraan negara. Kepada pemimpin tertinggi di Provinsi Bengkulu, barangkali kini saatnya membuka kembali lembar-demi lembar konstitusi UUD NRI 1945 tentang hakikat kebebasan berpendapat. Bahwa di dalamnya tak akan pernah ditemukan satu pun kata yang menyamakan kritik dengan sumpah serapah penghinaan, sebab kritik adalah bentuk cinta, bukan cacian yang menjerumuskan.

Konstitusi yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa bukan sekadar teks hukum, melainkan cerminan kesadaran sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Desain hak untuk menyampaikan pendapat tidak hanya diakui, tetapi dijaga dengan ketegasan yang tak tergoyahkan. Hal ini secara eksplisit mulai dari pasal 28A-28J. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Kalimat tersebut tersirat pesan mendalam, bahwa kemerdekaan berpikir dan bersuara bukanlah hak yang bisa dinegosiasikan, apalagi ditekan oleh kekuasaan. Konstitusi hadir sebagai perisai, bukan sebagai alat pembungkam. Maka, segala bentuk upaya untuk membatasi kemerdekaan pikiran dan hati nurani sesungguhnya merupakan pengkhianatan terhadap esensi kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh negara hukum.

Di samping pengakuan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, terdapat pula kewajiban moral yang melekat pada setiap pemimpin: yakni kesediaan untuk mendengarkan suara rakyat yang telah memberikan mandat kekuasaan. Sebab kekuasaan bukanlah kedaulatan mutlak, melainkan titipan dari rakyat yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Dalam konteks ini, kritik tidak boleh dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai bentuk partisipasi aktif yang seharusnya menjadi fondasi dalam merumuskan kebijakan publik.

Mendengar kritik adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap daulat rakyat, dan sekaligus penanda bahwa kekuasaan masih memiliki sisi kemanusiaan. Namun sayangnya, benih-benih otoritarianisme tampaknya mulai tumbuh dan menjalar di Bumi Merah Putih ini. Sudah saatnya pemimpin tertinggi Provinsi Bengkulu mengambil waktu untuk merenung, menelaah kembali arah perjalanan kekuasaan yang ia emban dan duduk bersama rakyat guna mencari jalan terbaik. Ingatlah, wahai pemegang kekuasaan, berbahagialah jika telingamu masih dihampiri oleh suara-suara sumbang, sebab di dalamnya terkandung peringatan, kejujuran, dan cinta. Wahai penguasa ingat bahwa Kritikan adalah versi terbaik dari segala bentuk cinta yang pernah ada, maka dekatilah ia dan jangan menjauh.

Artikel Terkait

Rekomendasi