Tren Menurunnya Angka Pernikahan, Dilihat dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Author PhotoDesi Sommaliagustina
06 Nov 2024
https___asset.kgnewsroom.com_photo_pre_2024_03_06_fb31eb20-5214-4352-a267-d7f9ff314f32_png

Pernikahan tampaknya bukan lagi prioritas saat ini. Berdasarkan laporan BPS berjudul Statistik Indonesia 2024, angka pernikahan di Indonesia terus menurun ke titik yang paling rendah. Pada 2023, misalnya, jumlah pernikahan di Tanah Air mencapai 1.577.255. Angka ini turun sekitar 128 ribu dibandingkan angka pernikahan di tahun 2022. Namun, itu baru perbandingan satu tahun terakhir. Apabila seluruh laporan BPS direntangkan dalam 10 tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 28,63 persen atau menyusut 632.791. Rata-rata usia pernikahan di Indonesia juga semakin tua. Tren menunda pernikahan mayoritas berada di kota. Pada 2023, jumlah pemuda kota yang belum menikah mencapai 75,52 persen.

Melihat data diatas terlihat angka pernikahan di Indonesia menunjukkan tren menurun dalam beberapa tahun terakhir, sementara angka perceraian terus mengalami kenaikan. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan sosial yang signifikan, tetapi juga menuntut perhatian dari sisi hukum keluarga di Indonesia. Beberapa faktor mendasari pergeseran ini, seperti perubahan nilai sosial, kesetaraan gender, tekanan ekonomi, serta pemahaman yang semakin luas mengenai hak-hak individu dalam pernikahan. Namun, penting untuk melihat bagaimana hukum merespons dinamika ini untuk melindungi individu, terutama perempuan dan anak-anak yang terdampak langsung oleh perceraian.

Faktor utama menurunnya angka pernikahan di Indonesia adalah perubahan pandangan generasi muda terhadap pernikahan. Banyak individu, terutama di kalangan urban, yang menunda atau bahkan memilih tidak menikah karena berbagai alasan. Meningkatnya partisipasi perempuan di dunia kerja dan akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi telah membuka peluang bagi perempuan untuk berfokus pada karier dan kehidupan mandiri. Selain itu, tekanan ekonomi, biaya hidup yang semakin tinggi, dan tantangan memiliki rumah atau aset keluarga juga membuat generasi muda ragu untuk berkomitmen pada pernikahan.

Dalam perspektif hukum, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan usia minimum untuk menikah sebagai upaya mencegah pernikahan usia dini. Kebijakan ini memberikan perlindungan terhadap hak anak dan mendukung upaya pembangunan manusia yang lebih berkualitas, meskipun secara tidak langsung juga turut berpengaruh pada penurunan angka pernikahan. Dengan standar usia yang lebih tinggi, para individu memiliki lebih banyak waktu untuk berfokus pada pendidikan dan karier, yang kemudian berdampak pada keputusan mereka untuk menunda atau menghindari pernikahan.

Sementara itu, peningkatan angka perceraian di Indonesia menjadi sorotan penting, terutama dengan adanya fenomena “pernikahan kilat” di kalangan muda. Banyak pasangan yang memutuskan menikah tanpa memahami sepenuhnya tanggung jawab dan tantangan dalam kehidupan berumah tangga. Dalam konteks hukum, perceraian tidak hanya menjadi isu pribadi, tetapi juga berdampak pada perlindungan hak anak, hak ekonomi perempuan, dan stabilitas sosial.

Hukum di Indonesia memfasilitasi proses perceraian melalui Pengadilan Agama untuk umat Islam dan Pengadilan Negeri untuk non-Muslim. Namun, proses perceraian yang kerap memakan waktu dan biaya tinggi sering kali menambah beban emosional dan finansial bagi para pihak yang terlibat. Dalam hal ini, peninjauan ulang terhadap mekanisme dan persyaratan perceraian menjadi penting agar proses perceraian dapat dilakukan dengan adil dan tidak merugikan hak-hak pihak yang lebih rentan, terutama perempuan dan anak.

Selain itu, terdapat tantangan dalam menegakkan hak-hak perempuan pasca-cerai, terutama terkait dengan hak nafkah, hak asuh anak, dan pembagian harta bersama. Di bawah hukum Islam, ada aturan khusus terkait nafkah iddah dan mut’ah untuk perempuan yang bercerai, tetapi praktiknya sering kali sulit untuk ditegakkan akibat kendala administrasi dan sikap pihak yang tidak kooperatif. Penegakan hukum yang lebih tegas dan peran pemerintah dalam memfasilitasi proses mediasi dan konseling pra-perceraian sangat diperlukan untuk mencegah perceraian yang tidak perlu serta memberikan perlindungan bagi mereka yang terdampak.

Dari perspektif hukum, menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya angka perceraian menuntut penyesuaian dalam kebijakan hukum keluarga di Indonesia. Pemerintah dapat mempertimbangkan beberapa langkah, antara lain: Pertama, melakukan penguatan pada program konseling pra-nikah dan pra-perceraian. Program ini bertujuan mewajibkan konseling pra-nikah bagi pasangan yang hendak menikah serta menyediakan konseling pra-perceraian untuk memfasilitasi komunikasi yang lebih baik di antara pasangan. Langkah ini tentunya sebagai alternatif untuk mengurangi risiko perceraian. Risiko perceraian ini sebetulnya dapat diatasi melalui dialog yang terbuka.

Kedua, memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi perempuan dan anak pasca-perceraian; langkah ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan perlindungan hukum terkait hak nafkah, hak asuh anak, dan pembagian harta bersama agar hak-hak perempuan dan anak terlindungi dengan baik. Perlu ada penegakan yang tegas terhadap pihak yang tidak memenuhi kewajibannya pasca-cerai.

Ketiga, yang tidak kalah pentingnya melakukan percepatan dalam proses administrasi perceraian dan penyederhanaan biaya; Tentunya dengan meningkatkan efisiensi pada proses perceraian dapat meringankan beban biaya dan waktu bagi pasangan yang benar-benar ingin berpisah, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya angka perceraian tidak bisa diabaikan begitu saja, terutama karena dampaknya terhadap tatanan sosial dan kesejahteraan keluarga. Dengan pendekatan hukum yang tepat dan kebijakan yang proaktif, negara dapat menghadirkan sistem hukum keluarga yang adaptif dan melindungi hak-hak seluruh warga, terutama kelompok yang rentan. Penyesuaian hukum ini tidak hanya membantu mencegah perceraian yang tidak perlu tetapi juga memberikan dukungan yang memadai bagi mereka yang harus menjalani kehidupan pasca-perceraian.

Artikel Terkait

Rekomendasi