TNI Masuk Kampus: Normalisasi Represi atau Kolaborasi Akademik?

67cfc06bdbf63

Peristiwa kedatangan Komandan Distrik Militer (Dandim) Depok 0508 Kolonel Iman Widhiarto ke Universitas Indonesia pada 16 April 2025 menambah daftar panjang masuknya militer ke lingkungan kampus pasca disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Narasi yang berkembang bukan hanya soal siapa yang datang, tetapi mengapa mereka datang, dan lebih penting lagi: dalam konteks apa militer hadir di ruang akademik?

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, dalam pernyataannya menyebut tidak ada masalah dengan kehadiran TNI di kampus, terutama dalam konteks kerja sama akademik dan penelitian. Namun peristiwa di UI bukan tentang seminar atau kolaborasi riset—melainkan kunjungan aparat berseragam ke lokasi konsolidasi mahasiswa. Ini bukan kali pertama terjadi. Sejak revisi UU TNI disahkan Maret lalu, berbagai laporan menunjukkan intensifikasi kehadiran militer di ruang-ruang sipil, termasuk universitas.

Revisi UU TNI tahun 2025 memperluas mandat militer dalam urusan sipil dengan membuka ruang bagi penugasan TNI di luar pertahanan negara, termasuk dalam urusan sosial, pembangunan, bahkan pendidikan. Celah ini menjadi legitimasi hukum yang rentan disalahgunakan untuk menormalisasi kehadiran aparat dalam kehidupan kampus yang seharusnya otonom, kritis, dan bebas dari tekanan bersenjata.

Secara historis, trauma akan militerisasi kampus bukan barang baru. Di era Orde Baru, kampus-kampus menjadi target kontrol militer, membungkam gerakan mahasiswa, dan mengawasi aktivitas intelektual dengan ketat. Kehadiran Dandim di tengah konsolidasi nasional mahasiswa tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang represi serupa.

Kampus: Ruang Bebas atau Zona Aman Militer?

Kampus adalah ruang produksi ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir. Kehadirannya sebagai benteng nalar dan kritik sosial menjadikannya tempat yang ideal untuk menumbuhkan demokrasi. Karena itu, kehadiran TNI—apalagi tanpa kejelasan peran akademik—harus dikritisi, bukan dibela dengan dalih kerja sama. Pertanyaannya sederhana: apakah militer datang untuk berbagi ilmu atau memantau konsolidasi gerakan mahasiswa?

Pernyataan Mendiktisaintek bahwa “kampus adalah ruang terbuka” tidak dapat dilepaskan dari konteks kedatangan itu. Keterbukaan dalam dunia akademik bukan berarti membiarkan semua aktor—termasuk yang memiliki fungsi koersif—masuk tanpa regulasi etis. Apakah terbuka juga berarti membiarkan tekanan psikologis mengendap di ruang diskusi karena hadirnya seragam militer?

UU TNI hasil revisi tidak secara eksplisit melarang militer masuk ke kampus, namun konstitusi dan UU lainnya justru memberi kerangka perlindungan terhadap kebebasan akademik (Pasal 28C dan 28E UUD 1945 serta UU Pendidikan Tinggi). Dengan kata lain, peraturan harus dibaca secara sistemik, bukan semata sektoral.

Penting bagi Kementerian Pendidikan dan kampus untuk memiliki standar etik yang jelas terkait kehadiran militer: dalam bentuk apa, untuk tujuan apa, dan dengan mekanisme transparan seperti MoU yang dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa itu, kampus bisa menjadi ladang operasi terselubung militer atas nama kerja sama.

Normalisasi kehadiran militer dengan istilah “mitra akademik” mencerminkan praktik eufemisme berbahaya. Ini mengingatkan pada konsep lawfare—penggunaan hukum atau narasi hukum untuk menjustifikasi dominasi kekuasaan. Ketika bahasa akademik digunakan untuk meredam kritik terhadap represi, maka kita sedang bergerak ke arah depolitisasi kampus, menjadikannya alat kekuasaan, bukan lagi ruang perlawanan intelektual.

Dalam negara demokratis, kampus adalah salah satu penjaga utama kewarasan publik. Militer punya tugas utama menjaga pertahanan dan kedaulatan negara, bukan mengawasi ruang sipil. Kolaborasi antara kampus dan TNI sah-sah saja, selama dilakukan dengan etika akademik dan transparansi. Tapi jika kolaborasi itu menjadi pintu masuk represi terselubung, maka sudah waktunya kita bertanya: untuk siapa kampus hari ini?

Artikel Terkait

Rekomendasi