Platform media sosial TikTok telah menjadi ruang publik digital yang sangat populer di Indonesia. Berbagai konten menarik, dari hiburan hingga edukasi, berkembang pesat dan memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi. Dibalik popularitasnya, TikTok juga menjadi tempat terjadinya berbagai masalah hukum yang kompleks.
Kasus-kasus hukum di TikTok sering melibatkan pelanggaran privasi, pencemaran nama baik, hingga penyebaran konten ilegal yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Permasalahan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepatuhan terhadap regulasi hukum yang berlaku.
Salah satu kasus hukum yang sering muncul di TikTok adalah pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini mengatur tentang larangan mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik. Pada praktiknya, banyak pengguna TikTok yang menggunakan platform ini untuk menyampaikan kritik atau opini terhadap pihak lain, baik individu maupun perusahaan. Namun, tidak jarang kritik tersebut berubah menjadi serangan pribadi yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.
Sebagai contoh, beberapa konten kreator di TikTok kerap kali mengungkapkan pengalaman buruk mereka terhadap suatu produk atau layanan, bahkan menyebut nama perusahaan atau individu yang terlibat. Meskipun kritik tersebut mungkin dimaksudkan sebagai bentuk advokasi konsumen, namun jika penyampaiannya berlebihan atau tanpa bukti yang cukup, hal ini dapat berujung pada tuntutan hukum pencemaran nama baik. Kasus ini menunjukkan adanya ketegangan antara hak konsumen untuk menyuarakan pendapatnya dan perlindungan terhadap reputasi pihak yang dikritik.
Kasus lainnya yang sering muncul di TikTok adalah terkait dengan penyebaran konten ilegal, seperti video yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, atau ujaran kebencian. Meskipun TikTok memiliki kebijakan moderasi dan melarang konten-konten semacam itu, banyak pengguna yang tetap mengunggah video yang melanggar aturan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya, beberapa kasus di Indonesia melibatkan konten TikTok yang berisi ujaran kebencian terhadap kelompok agama atau ras, yang kemudian menimbulkan konflik sosial.
Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki wewenang untuk meminta TikTok menghapus konten yang dianggap melanggar hukum. Namun, proses ini sering kali tidak berjalan cepat, terutama jika konten tersebut telah menjadi viral dan tersebar luas sebelum dapat dihapus. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan moderasi TikTok serta seberapa jauh tanggung jawab hukum platform dalam mengawasi konten yang diunggah penggunanya.
Masalah hukum lainnya yang sering terjadi di TikTok adalah pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI), terutama terkait dengan penggunaan musik, video, dan konten kreatif lainnya tanpa izin. TikTok memungkinkan pengguna untuk menggunakan berbagai lagu populer dalam video mereka, yang sering kali dilindungi oleh hak cipta. Meskipun TikTok telah memiliki perjanjian lisensi dengan sejumlah pemegang hak cipta, banyak pengguna yang tetap mengunggah konten tanpa memperhatikan aturan hak cipta, seperti menggunakan potongan film atau musik tanpa izin.
Kasus pelanggaran hak cipta ini menunjukkan lemahnya literasi hukum pengguna TikTok mengenai hak kekayaan intelektual. Pengguna sering kali tidak menyadari bahwa penggunaan materi berhak cipta tanpa izin dapat berujung pada tuntutan hukum, baik dari pemegang hak cipta maupun melalui mekanisme Digital Millennium Copyright Act (DMCA) yang diimplementasikan oleh TikTok.
Tantangan Penegakan Hukum dan Jurisdiksi
Salah satu tantangan utama dalam penegakan hukum kasus-kasus di TikTok adalah soal jurisdiksi internasional. TikTok sebagai perusahaan global beroperasi di bawah yurisdiksi hukum negara lain, sementara kasus-kasus hukum yang terjadi berada di Indonesia. Hal ini menimbulkan komplikasi ketika proses hukum harus melibatkan ekstradisi data atau kerja sama lintas negara, terutama ketika berhadapan dengan aturan privasi yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika pihak berwenang di Indonesia membutuhkan data pengguna TikTok untuk keperluan investigasi, TikTok sering kali berdalih dengan kebijakan privasi perusahaan dan aturan hukum di negara asalnya. Hal ini menghambat proses penegakan hukum, terutama ketika kasus melibatkan konten yang meresahkan publik. Pemerintah perlu melakukan revisi UU ITE, khususnya terkait pasal-pasal yang kerap disalahgunakan seperti Pasal 27 ayat (3). Di sisi lain, TikTok juga perlu memperketat kebijakan moderasi konten dan meningkatkan transparansi dalam penanganan laporan pelanggaran.
Selain itu, pengguna TikTok perlu diberikan edukasi mengenai hak-hak dan kewajiban hukum mereka, termasuk pemahaman mengenai hak cipta, ujaran kebencian, serta konsekuensi hukum dari penyebaran informasi yang tidak benar. Untuk itu Indonesia juga perlu memperkuat kerja sama internasional dengan platform media sosial seperti TikTok untuk memudahkan proses penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pengguna dari berbagai negara. Tentunya ini harus ada dukungan dari Kementerian Kominfo. Kementerian Kominfo harus lebih proaktif dalam memantau dan mengawasi konten di TikTok, serta bekerja sama dengan platform untuk menghapus konten yang melanggar hukum secara lebih cepat.
Melihat pelbagai kasus hukum yang terjadi pada platform media sosial terutama di TikTok, tentunya ini menunjukkan bahwa platform media sosial dapat menjadi wadah yang kompleks dalam hal penegakan hukum digital. Regulasi yang ada saat ini perlu disesuaikan dengan dinamika media sosial yang cepat berubah, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi pengguna. Reformasi regulasi, peningkatan literasi digital, serta kerja sama yang lebih baik antara pemerintah dan platform media sosial adalah langkah-langkah penting yang perlu diambil agar hukum dapat berfungsi secara efektif di era digital ini.