Sidang Tesis dan Etika Penggunaan Fasilitas Negara

1751471421751

Beredarnya foto Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah di media sosial Facebook dan postingan pribadinya yang tengah mengikuti sidang tesis dari ruang kerjanya sebagai kepala daerah, lengkap dengan meja dinas, bendera negara, bendera provinsi, dan perangkat pemerintahan. Walaupun secara kasat mata terlihat tertib dan formal, tindakan ini menimbulkan pertanyaan publik:Apakah sah dan dibenarkan pejabat negara menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pendidikan pribadinya?

Foto yang tersebar memperlihatkan Mahyeldi berada di balik meja Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Dokumen akademik, air mineral, dan suasana ruang dinas menjadi bagian dari peristiwa pribadi: ujian akademik pascasarjana. Peristiwa ini memang berlangsung tertib, tetapi substansinya mengundang kritik, karena memperlihatkan bagaimana fasilitas jabatan digunakan untuk urusan non-kedinasan.

Pendidikan Pejabat Publik: Hak yang Tidak Tanpa Batas

Tidak ada peraturan yang melarang seorang gubernur atau pejabat publik untuk menempuh pendidikan tinggi. Bahkan, pendidikan lanjutan sangat didorong untuk meningkatkan kapasitas dan wawasan kepemimpinan. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pejabat tersebut mengelola batas antara kewenangan jabatannya dengan kepentingan pribadinya.

Tesis atau ujian akademik, sejauh tidak dibiayai negara atau tidak termasuk dalam tugas kedinasan, tetap merupakan urusan pribadi. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang kerja dinas, waktu kerja, dan simbol-simbol negara untuk kegiatan pribadi ini menjadi problem etik dan hukum.

Secara hukum, ada beberapa aturan yang relevan untuk menilai tindakan ini:Pertama, peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pasal 5 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa PNS wajib menggunakan barang milik negara sesuai dengan ketentuan.

Kedua, peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) No. 87 Tahun 2005 tentang Pedoman Etika Penyelenggara Negara. Disebutkan bahwa penyelenggara negara harus memisahkan dengan jelas kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan golongan dengan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara negara.

Ketiga, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 menyebutkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dapat dipidana.”

Meskipun dalam konteks ini tidak ada kerugian negara yang nyata dan langsung, penggunaan simbol, fasilitas, dan waktu jabatan untuk urusan pribadi tetap masuk dalam wilayah maladministrasi dan penyimpangan etika.

Keempat, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam Pasal 17 ditegaskan bahwa pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, termasuk menyimpang dari prosedur, melampaui wewenang, atau bertindak sewenang-wenang.

Ketika seorang gubernur menggunakan ruang kerja resmi untuk ujian tesisnya, secara simbolik ia membawa nama negara ke dalam urusan privatnya. Ruang jabatan bukanlah ruang netral, melainkan ruang otoritas publik. Meja gubernur, lambang provinsi, bendera, dan posisi fisik dalam ruang kerja adalah representasi kekuasaan publik, yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan akademik pribadi, walaupun tanpa biaya tambahan.

Tindakan ini memperlihatkan bagaimana privilese jabatan digunakan untuk kenyamanan personal. Bayangkan bila ASN biasa mengikuti sidang tesis dari dalam ruang kepala dinas atau meminjam ruang rapat gubernur untuk keperluan pribadi – tentu akan menimbulkan pertanyaan serius.

Izin Belajar dan Konsekuensinya?

Jika Mahyeldi memang mengambil program pascasarjana secara formal, maka menurut ketentuan Kementerian Dalam Negeri, kepala daerah wajib mengajukan izin belajar. Namun, keberadaan izin belajar bukanlah pembenar untuk menggunakan fasilitas negara seenaknya. Izin belajar hanya memberikan dasar hukum untuk menempuh pendidikan tanpa mengganggu tugas pokok dan fungsi jabatan.

Karena itu, jika sidang tesis dilakukan di luar waktu kerja, maka semestinya dilaksanakan di tempat netral, bukan di kantor gubernur. Jika dilakukan pada waktu kerja, maka pertanyaannya: apakah izin belajar disertai dengan izin tidak melaksanakan tugas pemerintahan saat itu?

Hal ini tentunya bisa menjadi preseden yang berbahaya. Jika tindakan seperti ini tidak dikritisi, maka akan menjadi preseden buruk. Kepala daerah berikutnya, pejabat eselon, bahkan kepala sekolah, bisa menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi, dengan alasan “pendidikan”.

Padahal, inti dari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)adalah adanya akuntabilitas dan pemisahan yang tegas antara domain publik dan domain privat. Ketika batas ini kabur, maka lahirlah praktik penyalahgunaan wewenang yang dibungkus formalitas.

Meskipun secara hukum positif belum tentu bisa langsung dijerat sanksi pidana, tindakan seperti ini berpotensi masuk ranah pelanggaran etik dan administrasi. Apalagi jika terdapat penggunaan fasilitas penunjang lain (ajudan, kendaraan dinas, staf protokoler) yang turut mendukung kegiatan pribadi tersebut. Lembaga seperti Inspektorat, Ombudsman, dan Komisi ASN dapat menilai apakah tindakan ini mengandung unsur penyimpangan wewenang. Sementara itu, DPRD sebagai representasi rakyat di daerah perlu menjalankan fungsi pengawasan.

Sebagai penutup, pendidikan itu sangat mulia, tapi jabatan adalah amanah. Tidak ada yang salah dari keinginan seorang kepala daerah untuk meraih gelar magister atau doktor. Namun, jabatan publik bukanlah kendaraan pribadi untuk menyelesaikan urusan akademik apalagi sampai menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Seorang pemimpin justru semestinya menjadi contoh integritas dalam memisahkan jabatan dan kepentingan pribadi.

Keteladanan dalam hal-hal kecil, seperti tidak menggunakan ruang kantor untuk ujian pribadi, akan bergaung lebih keras dari ribuan pidato moral. Sebagai warga negara, kita tidak menyoal tesisnya — kita menyoal pilihan tempat dan simbol kekuasaan yang digunakan dalam proses tersebut. Sebab, sekali batas itu dilanggar, maka batas lainnya akan mudah digeser.

Artikel Terkait

Rekomendasi