Semangat Sumpah Pemuda dan Negara yang Terlalu Mudah Menghakimi

1761486405_6506c9cdffab96c06683

Pada 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda Indonesia berikrar dalam satu semangat: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu—Indonesia. Sumpah Pemuda bukan sekadar dokumen sejarah; ia adalah moral kolektif yang menegaskan bahwa bangsa ini berdiri di atas keberagaman dan keadilan. Namun delapan puluh sembilan tahun kemudian, kita menyaksikan ironi: negara yang lahir dari semangat persatuan kini justru kerap tampil sebagai penghakim, bukan pelindung.

Di tengah kemajuan teknologi dan politik kekuasaan yang semakin personalistik, hukum acap kali digunakan bukan sebagai sarana menegakkan keadilan, tetapi sebagai alat legitimasi kekuasaan. Negara yang terlalu mudah menghakimi rakyatnya sesungguhnya sedang kehilangan arah dari cita-cita hukum yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.

Konstitusi Republik Indonesia telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Asas ini bermakna bahwa segala tindakan pemerintah harus tunduk pada hukum, bukan pada kehendak penguasa. Namun realitas sosial hari ini menunjukkan distorsi makna rule of law menjadi rule by law—hukum dijalankan hanya untuk membenarkan tindakan penguasa.

Data dari SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) mencatat sepanjang 2024 terdapat lebih dari 200 kasus pelaporan pidana terhadap warga sipil akibat unggahan di media sosial, sebagian besar karena dianggap “menyebar kebencian” atau “menghina pejabat publik”. Fenomena ini memperlihatkan bahwa hukum tidak lagi menjadi pelindung kebebasan berekspresi, melainkan pagar yang membatasi ruang demokrasi.

Kasus mahasiswa di Kendari yang dilaporkan karena kritik terhadap wali kota, atau aktivis lingkungan di Kalimantan Timur yang dipidana karena menulis tentang pencemaran perusahaan tambang, adalah contoh konkret penyimpangan itu. Dalam konteks hukum pidana, tindakan ini telah melanggar asas ultimum remedium, bahwa hukum pidana harus menjadi upaya terakhir, bukan alat pertama dalam menyelesaikan konflik sosial.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum bukan hanya teks yang mati, tetapi harus hidup di tengah masyarakat (law in action). Ketika hukum berhenti memahami manusia, maka keadilan berubah menjadi kezaliman yang dilegalkan. Negara yang terlalu cepat menghakimi warganya tanpa proses yang adil sejatinya sedang mengkhianati konstitusi.

Asas presumption of innocence (praduga tak bersalah), sebagaimana termaktub dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjadi landasan moral agar penegak hukum tidak menjatuhkan stigma sebelum putusan pengadilan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: aparat penegak hukum sering tergesa memberi label “tersangka” bahkan sebelum bukti diuji di pengadilan.

Media sosial memperparah keadaan. Publik cepat menilai, negara cepat menghukum, dan ruang klarifikasi menjadi sempit. Di sinilah lahir kolonialisme baru: bukan lagi penjajahan oleh bangsa asing, melainkan oleh tafsir hukum yang sewenang-wenang.

Kolonialisme Hukum di Era Digital

Jika pemuda 1928 berjuang melawan kolonialisme fisik, maka generasi kini berhadapan dengan kolonialisme hukum digital. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang semestinya menjadi pelindung masyarakat siber, berubah menjadi “pasal jerat” yang membungkam kritik. Meski telah direvisi pada 2016 dan 2024, pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik masih menyimpan tafsir ganda.

Pasal ini bertentangan dengan semangat Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008 pernah menegaskan bahwa penghinaan terhadap pejabat publik tidak boleh dijadikan alasan membatasi kebebasan berekspresi. Pejabat publik harus lebih terbuka terhadap kritik karena jabatannya bersifat publik. Sayangnya, semangat putusan itu sering diabaikan dalam praktik.

Negara yang terlalu mudah menghakimi justru mempersempit partisipasi warga dalam demokrasi. Padahal, salah satu unsur utama rule of law versi Lon L. Fuller (1964) adalah keterbukaan dan kepastian hukum yang mendorong partisipasi warga negara dalam mengoreksi tindakan pemerintah.

Sumpah Pemuda adalah ekspresi keberanian moral. Para pemuda 1928 tidak hanya menyatukan bangsa, tetapi juga menantang struktur kekuasaan kolonial dengan semangat kebenaran. Maka, pemuda masa kini tidak boleh kehilangan karakter kritis itu. Di tengah era hukum yang kian formalistik, pemuda harus menjadi penjaga moral publik. Kritik yang berlandaskan etika dan pengetahuan bukanlah kejahatan, melainkan bagian dari partisipasi politik yang sah.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-VI/2008 menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional yang tidak boleh dikurangi, kecuali oleh hukum yang proporsional dan untuk tujuan yang sah. Artinya, negara tidak boleh menggunakan hukum sebagai alat intimidasi politik.

Kritik publik seharusnya diterima sebagai cermin bagi pemerintah untuk berbenah, bukan sebagai ancaman. Jika pemerintah alergi terhadap kritik, maka demokrasi kehilangan makna substantifnya.

Penegakan Hukum

Penegakan hukum di Indonesia harus direorientasikan dari paradigma kekuasaan menuju paradigma kemanusiaan. Pertama, revisi terhadap pasal-pasal karet, terutama dalam UU ITE dan KUHP baru, perlu dilakukan secara substansial dengan mengacu pada prinsip “clear and present danger test”—hanya ekspresi yang benar-benar mengancam ketertiban publik yang boleh dibatasi.

Kedua, aparat penegak hukum harus dibekali pelatihan etika konstitusional agar tidak terjebak pada tafsir subjektif terhadap kritik publik. Ketiga, masyarakat juga perlu didorong untuk menggunakan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab, dengan memperhatikan asas lex etica—bahwa kebebasan tanpa etika hanyalah anarki.

Negara yang beradab bukanlah negara tanpa hukum, tetapi negara yang menegakkan hukum dengan nurani. Hukum seharusnya menjadi jembatan keadilan, bukan tembok pembatas antara rakyat dan penguasa.

Sumpah Pemuda menegaskan: persatuan bangsa hanya mungkin terwujud bila keadilan ditegakkan. Kini, hampir satu abad kemudian, semangat itu perlu dihidupkan kembali dalam ranah hukum. Pemuda harus menjadi penuntun moral agar negara tidak menjadi penguasa yang mudah menghakimi.
Kritik, perbedaan pendapat, dan kebebasan berpikir adalah bahan bakar demokrasi, bukan bara pemberontakan.

Negara boleh kuat, tetapi tidak boleh sewenang-wenang. Karena kekuasaan tanpa kearifan akan menumbuhkan ketakutan baru di tengah rakyatnya.
Dan ketika ketakutan menggantikan keberanian, maka Sumpah Pemuda hanya tinggal naskah sejarah—tanpa ruh perjuangan.

Dalam konteks hukum, penghakiman yang dilakukan tanpa pemahaman adalah bentuk kezaliman yang paling nyata. Negara yang terlalu cepat menghukum warganya tanpa dialog, sesungguhnya sedang melupakan asal-usulnya: negara yang lahir dari semangat persatuan dan keberanian pemuda.

Hukum harus kembali menjadi alat pembebasan, bukan perpanjangan tangan kekuasaan. Semangat Sumpah Pemuda harus dihidupkan kembali sebagai napas keadilan sosial—sebuah janji yang belum lunas ditegakkan oleh bangsa ini.

Artikel Terkait

Rekomendasi