Kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menetapkan tarif maksimal hotel dinas bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk tahun anggaran 2026 sebesar Rp 9,3 juta per malam bukan sekadar angka. Ia adalah simbol nyata dari alienasi birokrasi dari realitas kehidupan rakyat. Di tengah tekanan ekonomi yang melanda masyarakat kelas bawah dan menengah, keputusan semacam ini tak ubahnya tamparan telak dari atas menara gading kekuasaan. Ketika sebagian rakyat menjerit karena harga beras, pendidikan, dan kesehatan, negara justru mengalokasikan dana berlebih untuk kenyamanan elite birokrasi.
Rincian ini berasal dari revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Biaya Perjalanan Dinas dalam Negeri bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ASN lainnya. Pemerintah berdalih bahwa tarif ini adalah “plafon tertinggi” dan hanya akan dipakai dalam kondisi tertentu. Namun publik tahu betul: dalam praktiknya, “plafon maksimal” justru sering dijadikan “standar normal” dalam pengajuan anggaran oleh kementerian dan lembaga.
Jika benar ini diberlakukan, maka seorang ASN berpotensi menghabiskan hampir Rp 30 juta hanya dalam tiga malam perjalanan dinas. Uang tersebut berasal dari APBN, yang bersumber dari pajak rakyat—termasuk petani kecil, nelayan, buruh pabrik, hingga UMKM yang tengah berdarah-darah pasca pandemi dan kenaikan harga bahan pokok.
Asas Efisiensi dan Akuntabilitas Tercederai
Dalam kerangka hukum keuangan negara, pengelolaan anggaran harus mengikuti asas efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kewajiban ini tidak bersifat formalistik-administratif, melainkan substantif. Artinya, setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus bisa dipertanggungjawabkan dari sisi manfaat sosial, bukan sekadar legalitas prosedural.
Kebijakan menetapkan batas maksimal hingga Rp 9,3 juta per malam sama sekali tidak mencerminkan semangat efisiensi. Ia justru membuka celah pemborosan dan korupsi terselubung melalui penggelembungan harga dan “proyek perjalanan dinas” yang menguntungkan segelintir pihak.
Mari kita tilik secara empiris. Per Maret 2024, data Badan Pusat Statistik mencatat garis kemiskinan di Indonesia adalah Rp 550.458 per kapita per bulan. Itu artinya, satu malam di hotel dengan plafon tertinggi ASN setara dengan biaya hidup 17 keluarga miskin selama sebulan. Bandingkan pula dengan fakta bahwa sebagian guru honorer dan tenaga kesehatan daerah digaji di bawah UMR dan sering telat menerima upah.
Dalam konteks hukum sosial dan keadilan distributif, kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan ini juga mencederai prinsip konstitusional dalam Pasal 28H yang menjamin kesejahteraan sosial sebagai hak asasi setiap warga negara.
Birokrasi Sebagai Aristokrasi Baru, Dimana DPR?
Kebijakan ini semakin mengukuhkan persepsi publik bahwa birokrasi Indonesia perlahan berubah menjadi aristokrasi baru—sebuah kelas penguasa yang hidup nyaman dari hasil jerih payah rakyat. Padahal, ASN seharusnya menjadi pelayan publik. Mereka dibayar bukan untuk dimanjakan dengan fasilitas hotel mewah, tetapi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan bukan hanya soal teknis administrasi anggaran. Ini adalah kebijakan publik yang berdampak langsung pada persepsi keadilan fiskal. Dalam teori administrasi publik klasik, negara modern tidak boleh menggunakan keuangan negara untuk memperkuat hierarki sosial yang timpang.
Kritik juga patut diarahkan kepada DPR. Di mana fungsi pengawasan legislatif dalam hal ini? Jika anggota DPR diam atau bahkan menyetujui kebijakan ini secara implisit, maka rakyat berhak mempertanyakan siapa sebenarnya yang mereka wakili. Apakah mereka mewakili suara rakyat yang menderita, atau sekadar menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan yang saling melindungi?
Fungsi budgetary DPR bukan hanya menyetujui anggaran, melainkan menolak anggaran yang tidak memiliki legitimasi sosial. Ketika angka-angka fantastis seperti ini muncul tanpa kontrol, maka sistem demokrasi fiskal sedang sakit.
Ingat, Rakyat Bukan ATM Birokrasi!
Pemerintah harus segera melakukan moratorium terhadap kebijakan ini dan meninjau ulang seluruh komponen anggaran perjalanan dinas. Audit terbuka berbasis publik harus diterapkan. Semua data perjalanan dinas—biaya hotel, transportasi, dan honorarium—harus dipublikasikan dalam dashboard transparansi nasional yang dapat diakses masyarakat.
Revisi PMK harus dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan akademisi, aktivis antikorupsi, dan organisasi masyarakat sipil. Prinsip kesederhanaan dan efisiensi harus menjadi ruh utama dari setiap pengeluaran negara, terlebih di sektor non-produktif seperti perjalanan dinas.
Jika Presiden dan Menteri Keuangan benar-benar berpihak pada rakyat, maka langkah pertama adalah memangkas kemewahan birokrasi. Karena tak ada bangsa yang maju jika pemimpinnya terlalu nyaman dengan fasilitas mewah, sementara rakyatnya berjuang untuk makan.
Pada akhirnya, pertarungan terbesar dalam politik anggaran adalah soal siapa yang diutamakan: rakyat atau birokrat? Kebijakan tarif hotel Rp 9,3 juta per malam ini menunjukkan bahwa negara belum belajar dari krisis. Ia belum mengerti bahwa yang dibutuhkan rakyat hari ini bukan birokrat yang tidur di kasur empuk hotel bintang lima, tetapi birokrat yang bekerja di lapangan, memahami derita rakyat, dan hidup sederhana dengan tanggung jawab moral yang tinggi.
Rakyat bukan ATM birokrasi. Negara bukan perusahaan pelayanan diri. Dan anggaran publik bukan warisan feodal yang bisa dihambur-hamburkan demi kenyamanan kelompok elite. Jika Menteri Keuangan tak mampu menghadirkan keadilan fiskal, maka publik berhak menuntut: revisi kebijakan atau mundur dengan hormat.