Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia tidak terlepas dari berbagai permasalahan hukum dan politik yang mencerminkan kompleksitas sistem demokrasi di Indonesia. Beberapa kasus menonjol menjadi pelajaran penting terkait penyelenggaraan pemilihan yang adil, transparan, dan akuntabel.
Beberapa kasus yang terjadi pada pemilu dan pilkada yang ada di Indonesia. Seperti yang terjadinya pada pemilu 2019 merupakan salah satu pemilu terkompleks yang pernah diselenggarakan di Indonesia, karena pertama kalinya Pemilu legislatif dan Pemilu presiden dilaksanakan secara serentak. Setelah penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang dengan mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pasangan Prabowo-Sandiaga menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuduhan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Gugatan ini mengungkapkan berbagai klaim, termasuk dugaan manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), penggunaan program pemerintah yang menguntungkan salah satu pasangan calon, serta intimidasi terhadap pemilih. Hasilnya dari putusan, MK menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh pihak Prabowo-Sandiaga. MK menyatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya kecurangan yang signifikan yang mempengaruhi hasil Pemilu. Kasus ini menunjukkan tantangan dalam membuktikan kecurangan TSM dalam konteks Pemilu serentak. Selain itu, kasus ini mengungkapkan pentingnya penguatan regulasi terkait pengawasan Pemilu dan peran Bawaslu dalam menindak dugaan pelanggaran sejak awal proses Pemilu.
Kasus lain, terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu Pilkada yang paling kontroversial di Indonesia. Pemilihan ini mempertemukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana melawan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono. Pilkada ini diwarnai oleh isu-isu sensitif, termasuk penggunaan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dalam kampanye. Ahok, saat menjabat sebagai Gubernur, terjerat kasus penistaan agama setelah pernyataannya di Pulau Seribu dianggap menghina Al-Qur’an. Kasus ini memicu protes besar-besaran, termasuk aksi demonstrasi yang dikenal sebagai Aksi 212. Ahok kemudian dijatuhi hukuman dua tahun penjara atas kasus tersebut.
Kasus ini mengungkapkan dampak isu SARA dalam Pilkada dan potensi polarisasi masyarakat. Penggunaan isu agama sebagai alat politik menimbulkan ketegangan sosial yang signifikan, bahkan setelah Pilkada berakhir. Kasus ini juga mendorong pembahasan tentang perlunya regulasi yang lebih ketat dalam mencegah politisasi isu agama dalam kontestasi politik.
Selain dari kasus Pilkada di DKI Jakarta,kasus Pilkada juga terjadi pada di Sumatera Utara 2018, pasangan calon Gubernur JR Saragih-Ance Selian didiskualifikasi oleh KPU karena dugaan manipulasi dokumen ijazah. JR Saragih diduga menggunakan ijazah palsu yang tidak terverifikasi oleh Kementerian Pendidikan. Pasangan ini mengajukan gugatan ke Bawaslu, namun Bawaslu tetap memutuskan bahwa pasangan ini tidak memenuhi syarat. Diskualifikasi ini kemudian diikuti dengan proses pidana terhadap JR Saragih atas dugaan pemalsuan dokumen. Kasus ini menunjukkan pentingnya verifikasi dokumen persyaratan calon yang lebih ketat dalam proses pencalonan. Selain itu, kasus ini menggarisbawahi peran KPU dan Bawaslu dalam memastikan bahwa calon yang maju dalam Pilkada memenuhi seluruh persyaratan administratif secara sah.
Baru-baru ini juga muncul video dukungan Prabowo terhadap salah satu calon gubenur di Pilkada Jawa Tengah, tentunya ini mengalami pro dan kontra. Kalau dilihat secara hukum, tidak ada aturan eksplisit yang melarang seorang Presiden untuk mendukung calon kepala daerah. Namun, terdapat peraturan etika dan prinsip-prinsip umum dalam konstitusi yang mengharuskan Presiden untuk menjaga netralitas dan bertindak sebagai pemersatu bangsa seharusnya. Misalnya: Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang adil dalam hukum dan pemerintahan. Jika Presiden menunjukkan dukungan kepada satu calon, hal ini dapat dilihat sebagai bentuk keberpihakan yang merusak prinsip kesetaraan dalam proses pemilihan.
Kode etik pejabat negara menekankan pentingnya integritas, netralitas, dan kepemimpinan yang tidak memihak dalam pelaksanaan tugas publik. Dukungan terbuka dari Presiden terhadap salah satu pasangan calon kepala daerah menimbulkan dilema hukum dan etika terkait netralitas kepala negara dalam proses demokrasi lokal. Meskipun tidak ada aturan hukum yang secara eksplisit melarang tindakan ini, ada prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijaga, terutama dalam memastikan proses Pilkada yang adil dan independen. Reformasi regulasi dan peningkatan pengawasan diperlukan untuk menjaga integritas sistem pemilihan di Indonesia, serta memastikan bahwa demokrasi lokal berjalan sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah dan kedaulatan rakyat. Dengan menjaga netralitas dalam Pilkada, Presiden dapat menunjukkan komitmen untuk memelihara demokrasi yang sehat dan adil, serta menjadi teladan bagi pejabat publik lainnya dalam menjalankan tugas dengan integritas.
Dari beberapa kasus Pemilu dan Pilkada di Indonesia tersebut, mencerminkan adanya tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat dan efektif. Persoalan hukum, manipulasi politik, dan penggunaan isu SARA menunjukkan bahwa sistem pemilihan di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Upaya penataan regulasi, penguatan peran penyelenggara pemilu, serta peningkatan kesadaran politik masyarakat menjadi kunci untuk mencegah dan mengatasi kasus-kasus serupa di masa depan. Dengan pembenahan yang tepat, diharapkan kasus-kasus seperti ini tidak lagi terulang dan kualitas demokrasi Indonesia dapat semakin meningkat. Bangaimana caranya? bisa dengan cara melakukan penataan pada regulasi Pemilu dan Pilkada.
Penataan Regulasi Pemilu dan Pilkada
Penataan regulasi pemilu dan pilkada menjadi topik yang semakin krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Pemilu dan Pilkada merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan memastikan proses demokrasi berjalan sesuai prinsip-prinsip negara hukum. Namun, kompleksitas regulasi dan tumpang tindihnya aturan yang ada menjadi tantangan dalam pelaksanaan keduanya.
Salah satu masalah utama dalam regulasi Pemilu dan Pilkada adalah tumpang tindihnya undang-undang yang mengatur dua jenis pemilihan ini. Saat ini, terdapat dua undang-undang utama yang mengatur Pemilu dan Pilkada, yaitu; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur pemilihan Presiden, DPR, dan DPD dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedua regulasi ini seringkali tidak sinkron, terutama dalam hal jadwal pelaksanaan dan prosedur pemilihan. Hal ini dapat memicu kebingungan di lapangan dan menciptakan potensi konflik antar instansi penyelenggara pemilihan seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Pemilu serentak yang diatur sejak 2019 menghadirkan tantangan baru, terutama terkait dengan beban kerja penyelenggara, partisipasi pemilih, dan potensi sengketa pemilihan. Di sisi lain, Pilkada serentak yang dijadwalkan pada tahun 2024 juga menghadirkan persoalan teknis yang membutuhkan perhatian serius. Penyatuan jadwal Pemilu legislatif dan eksekutif dengan Pilkada dapat mengakibatkan: Overlapping proses, karena banyaknya tahapan yang berjalan bersamaan dapat menyebabkan penumpukan pekerjaan bagi penyelenggara dan ketidakefisienan pelaksanaan. Hal itu diperparah dengan jadwal yang padat, proses verifikasi, kampanye, dan pengawasan berpotensi terabaikan, sehingga berdampak pada kualitas hasil pemilihan yang tidak maksimal.
Pembiayaan Pemilu dan Pilkada yang terpisah juga menjadi problematika tersendiri. Anggaran yang disediakan pemerintah pusat untuk Pemilu sering kali tidak sinkron dengan anggaran Pilkada yang berasal dari pemerintah daerah. Ketidaksinkronan ini memicu masalah dalam pencairan anggaran, transparansi, serta akuntabilitas penggunaan dana pemilihan. Oleh karena itu, pentingnya melakukan penataan regulasi. Dalam penataan regulasi dapat dilakukan dengan beberapa langkah;
Langkah pertama, yang perlu diambil adalah kodifikasi undang-undang Pemilu dan Pilkada. Dengan menyatukan aturan dalam satu undang-undang yang komprehensif, akan tercipta regulasi yang lebih sederhana dan terkoordinasi. Kodifikasi ini dapat mengurangi tumpang tindih aturan serta memudahkan implementasi dan pengawasan. Selain itu, kodifikasi juga dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dalam pelaksanaan Pemilu, seperti penggunaan e-voting.
Langkah kedua, adanya harmonisasi jadwal dan tahapan Pemilu serta Pilkada juga perlu dilakukan untuk menghindari overlapping proses. Pemerintah dan DPR perlu menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau revisi undang-undang yang mengatur mekanisme pemilihan secara serentak dalam siklus yang terstruktur, misalnya dengan memisahkan jadwal pemilihan legislatif dan eksekutif di tingkat nasional dan daerah.
Langkah ketiga, dengan cara melakukan sentralisasi penganggaran dan transparansi dana pemilihan. Bangaimanapun dana Pemilu dan Pilkada harus dikelola dengan lebih terpusat dan transparan. Dengan cara melakukan sistem penganggaran yang terpusat, sehingga dapat mengurangi potensi penyalahgunaan anggaran di daerah serta memastikan alokasi dana yang lebih efisien. Selain itu, keterbukaan informasi terkait penggunaan anggaran pemilihan perlu ditingkatkan melalui platform digital yang bisa diakses oleh publik.
Agar langkah penataan regulasi ini tercapai, pemerintah saat ini bisa melakukan pembentukan tim khusus lintas kementerian yang bertujuan untuk mengharmonisasikan aturan Pemilu dan Pilkada. Selanjutnya, melaksanakan penyusunan revisi undang-undang atau Perppu yang mengakomodasi pemilihan serentak dalam satu regulasi terpadu dan mengimplementasikan pengawasan secara digital. Penataan regulasi Pemilu dan Pilkada sangat penting untuk memperkuat sistem demokrasi di Indonesia. Kodifikasi aturan, harmonisasi jadwal, dan sentralisasi anggaran adalah langkah-langkah strategis yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR. Penataan regulasi yang baik akan menciptakan mekanisme pemilihan yang lebih transparan, akuntabel, dan efisien, sehingga demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan lebih matang dan berkelanjutan.
Jika ini dilakukan dengan baik, tentunya tidak menutup kemungkinan akan meningkatnya partisipasi publik dalam proses pengawasan anggaran dan tahapan pemilihan. Bukan sampai disitu saja, langkah ini juga sangat penting diterapkan, agar memperkuat sistem demokrasi Indonesia serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan yang adil dan transparan.