Refleksi atas Kasus Guru yang Meminta Siswa SD di Medan Duduk di Lantai karena Tidak Membayar SPP

Author PhotoDesi Sommaliagustina
11 Jan 2025
67813004ee8c5-siswa-viral-dihukum-belajar-di-lantai-di-kelas-kepsek-wali-kelasnya-buat-peraturan-sendiri_1265_711

Kasus seorang siswa di Sekolah SD Swasta Abdi Sukma, Jalan STM, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Sabtu 11 Januari 2025 yang diminta duduk di lantai oleh gurunya karena belum membayar SPP telah memicu polemik di masyarakat. Peristiwa ini tidak hanya menyentuh ranah moral dan sosial, tetapi juga memerlukan analisis dari perspektif hukum. Bangaimana implikasi hukum dari tindakan tersebut serta tanggung jawab semua pihak terkait?

Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Hak ini diperkuat oleh Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk mengembangkan potensi diri. Selain itu, Pasal 4 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari diskriminasi.

Tindakan meminta siswa duduk di lantai dapat dilihat sebagai bentuk diskriminasi, yang berpotensi melanggar hak anak untuk diperlakukan dengan martabat. Pasal 76B UU Perlindungan Anak melarang setiap bentuk tindakan yang merendahkan martabat anak, termasuk diskriminasi di lingkungan sekolah.

Meskipun sekolah memiliki hak untuk menerima pembayaran SPP sebagai biaya operasional, cara penagihan harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan. Berdasarkan Pasal 13 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan tanpa diskriminasi.

Guru atau pihak sekolah yang menggunakan cara-cara yang tidak sesuai, seperti mempermalukan siswa, dapat dinilai melanggar asas-asas ini. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan menyatakan bahwa lingkungan sekolah harus bebas dari tindakan yang merugikan peserta didik, baik secara fisik maupun psikis.

Tindakan guru meminta siswa duduk di lantai bisa dianggap melanggar Pasal 54 UU Perlindungan Anak, yang mengharuskan satuan pendidikan melindungi anak dari perlakuan diskriminatif. Guru dapat dianggap bertindak di luar kewenangannya jika cara yang digunakan melanggar hak anak.

Namun, tanggung jawab tidak semata-mata berada di tangan guru. Pihak sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan penagihan SPP dilakukan secara etis dan tidak membebani peserta didik secara psikologis. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, orang tua siswa dapat melaporkan tindakan tersebut kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau aparat penegak hukum.

Orang tua juga memiliki kewajiban hukum untuk membayar biaya pendidikan sesuai kesepakatan. Namun, pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan hak anak atas pendidikan tidak terganggu oleh faktor ekonomi. Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, termasuk dalam hal pendidikan. Program-program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau bantuan pendidikan lainnya harus dioptimalkan untuk mencegah situasi seperti ini terulang.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam dunia pendidikan. Guru dan sekolah harus memastikan penagihan biaya pendidikan dilakukan tanpa merendahkan martabat siswa. Orang tua perlu memenuhi kewajibannya dalam membayar SPP, sementara pemerintah harus memperkuat perlindungan terhadap anak-anak yang kurang mampu.

Melalui pendekatan hukum yang berkeadilan dan kebijakan pendidikan yang inklusif, kasus serupa dapat dicegah di masa mendatang. Pendidikan bukan hanya hak, tetapi juga sarana untuk membangun generasi yang bermartabat. Bangaimana mau menyongsong generasi emas 2045, kalau kejadiannya seperti ini, tidak teratasi? Sangat miris!

Artikel Terkait

Rekomendasi