Program MBG: Malpraktik Kebijakan Publik Vs Peran Orang Tua

48f3944ab742dbb07f6bb24dfd55d81d

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu kebijakan unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menuai sorotan. Bukan karena keberhasilannya, melainkan karena kasus keracunan massal yang kembali menimpa para siswa penerima program tersebut. Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah menutup mata terhadap risiko yang terus berulang? Apakah alasan “niat baik” bisa membenarkan kecerobohan dalam implementasi sebuah program yang menyangkut nyawa manusia, terutama anak-anak?

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jaminan ini bukan sekadar retorika, melainkan kewajiban konstitusional negara. Program MBG sejatinya lahir dari niat mulia: memastikan gizi anak bangsa terpenuhi. Namun, jika pelaksanaan program justru menimbulkan risiko keracunan yang berulang, maka ada potensi pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Dalam kerangka hukum administrasi negara, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) menuntut kehati-hatian, kepastian hukum, dan akuntabilitas. Ketika distribusi makanan MBG dilakukan tanpa standar yang ketat, negara bisa dianggap lalai (negligence). Lalai di sini bukan hanya kesalahan teknis penyedia makanan, tetapi juga kelalaian pemerintah dalam memastikan rantai distribusi, pengawasan, hingga kualitas makanan sesuai standar kesehatan.

Malpraktik Kebijakan Publik

Kasus keracunan MBG berulang kali membuktikan adanya kelemahan sistemik: dari rantai suplai bahan makanan, standar kebersihan dapur, hingga proses distribusi di lapangan. Dalam perspektif hukum tata negara, kondisi ini bisa dikategorikan sebagai bentuk malpraktik kebijakan publik.

Malpraktik kebijakan publik terjadi ketika kebijakan yang semestinya memberikan manfaat justru menghasilkan kerugian akibat kelalaian dalam perencanaan maupun pengawasan. Jika program terus dipaksakan tanpa evaluasi menyeluruh, pemerintah bisa dianggap melakukan abuse of power— penyalahgunaan wewenang — karena lebih mengutamakan pencitraan politik daripada keselamatan publik.

Dalam dunia hukum, terdapat asas proporsionalitas: setiap kebijakan harus seimbang antara manfaat yang ingin dicapai dengan risiko yang mungkin timbul. Ketika risiko kesehatan anak-anak sudah nyata terbukti, maka langkah hukum yang rasional adalah melakukan moratorium sementara.

Moratorium ini bukan berarti pemerintah gagal total, tetapi justru bentuk tanggung jawab hukum dan moral negara. Dengan menghentikan sementara, pemerintah bisa melakukan evaluasi menyeluruh: memperbaiki standar penyediaan makanan, memperketat sertifikasi katering sekolah, hingga memastikan keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lebih intensif.

Apabila pemerintah memaksakan program tetap berjalan tanpa evaluasi yang transparan, maka orang tua sebagai pihak yang sah atas anak-anaknya memiliki dasar hukum untuk menuntut hak mereka. Mereka bisa menggugat negara melalui mekanisme class action atau citizen lawsuit, karena pemerintah telah lalai melindungi kesehatan anak-anak.

Peran Orang Tua

Jika negara tidak mampu menjamin keamanan makanan dalam program MBG, maka solusi paling rasional adalah mengembalikan kendali sementara kepada orang tua. Orang tua yang sehari-hari mengurus anak tentu lebih memahami kebutuhan gizi dan kondisi kesehatan mereka. Negara bisa mengalihkan dukungan dalam bentuk subsidi langsung, sehingga orang tua memiliki ruang menentukan makanan terbaik untuk anak-anaknya.

Skema ini tidak hanya lebih aman, tetapi juga sejalan dengan asas subsidiaritas dalam hukum tata kelola: ketika negara tidak mampu melaksanakan fungsi tertentu dengan baik, maka fungsi tersebut dapat dikembalikan pada unit sosial terkecil, yakni keluarga.

Keracunan yang berulang dalam program MBG adalah alarm keras bagi negara. Setiap nyawa anak bangsa adalah tanggung jawab negara yang tidak bisa ditawar. Jika program ini lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat, maka pilihan yang bijak dan sah secara hukum adalah melakukan evaluasi menyeluruh, bahkan menghentikan sementara.

Pemerintah tidak boleh bersikap defensif, apalagi berlindung di balik jargon politik. Negara yang lalai melindungi warganya, apalagi anak-anak, bukan hanya gagal menjalankan kewajiban konstitusional, tetapi juga menjerumuskan diri dalam jerat hukum dan moral.

Artikel Terkait

Rekomendasi