Pro Kontra Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP

Author PhotoRahul Singh
04 Dec 2024
WhatsApp Image 2024-12-04 at 06.10.01

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP 2023) mengatur tindak pidana terkait agama dan kehidupan beragama, dengan tujuan untuk menjaga harmoni sosial dan melindungi kebebasan beragama. Namun, regulasi ini menuai beragam pendapat dari berbagai kalangan. Beberapa pihak mendukung penerapan ketentuan ini sebagai langkah untuk menjaga ketertiban dan keharmonisan, sementara yang lain menilai hal tersebut dapat berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, bersifat subjektif dan multitafsir, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. 

Dasar Hukum

Pasal 300 KUHP 2023 mengatur tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Ketentuan ini menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum melakukan tindakan bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan, atau menghasut orang lain untuk melakukan diskriminasi atau kekerasan terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan, dapat dijatuhi pidana. Pidana yang diatur berupa pidana penjara dengan maksimal hukuman tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah dan menghukum tindakan yang dapat merusak harmoni sosial dan kehidupan beragama di Indonesia, dengan memberikan sanksi tegas bagi mereka yang melanggar norma hukum terkait perlindungan terhadap agama dan kepercayaan.

Setiap perbuatan atau pernyataan, baik tertulis maupun lisan, yang dilakukan secara objektif, terbatas untuk kalangan tertentu, atau bersifat ilmiah mengenai suatu agama atau kepercayaan, tidak dianggap sebagai tindak pidana berdasarkan pasal ini, asalkan tidak mengandung kata-kata atau susunan kalimat yang bersifat permusuhan, pernyataan kebencian, hasutan untuk melakukan permusuhan, kekerasan, diskriminasi, atau penodaan.

Pasal 303 KUHP 2023 mengatur mengenai tindak pidana terhadap kehidupan beragama. Ketentuan ini mengatur pada ayat (1) bahwa setiap orang yang membuat keributan atau kegaduhan di dekat tempat ibadah saat ibadah sedang berlangsung dapat dijatuhi pidana denda dengan kategori I. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan dan kekhusyukan saat umat beragama menjalankan ibadah mereka.

Pada ayat (2) diatur bahwa setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan dapat dijatuhi pidana penjara dengan maksimal dua tahun atau pidana denda dengan kategori III. Hal ini menegaskan bahwa setiap bentuk kekerasan yang mengganggu kegiatan keagamaan atau kepercayaan akan mendapat sanksi yang lebih berat.

Pada ayat (3), pasal ini semakin mempertegas bahwa siapa pun yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan individu yang sedang melaksanakan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda dengan kategori IV. Ketentuan ini memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap individu yang sedang menjalankan ibadah atau upacara keagamaan dari segala bentuk gangguan atau kekerasan.

PRO – Terciptanya Keharmonisasian Umat Beragama

Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana disimbolkan dengan lambang bintang di tengah-tengah perisai pada dada Garuda Pancasila, mencerminkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengamalan sila ini melibatkan tujuh nilai utama, yaitu keyakinan dan ketakwaan terhadap Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, yang dilandasi oleh asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini juga mendorong sikap hormat-menghormati dan kerja sama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan, membangun kerukunan hidup umat beragama, dan mengakui bahwa hubungan manusia dengan Tuhan adalah urusan pribadi. Selain itu, sila ini menegaskan pentingnya menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, serta melarang pemaksaan agama atau kepercayaan kepada orang lain.

Nilai-nilai tersebut sejalan dengan konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang dituangkan ke dalam Pasal 28E ayat (1), bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya. Pasal 29 ayat (2) lebih lanjut memastikan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Hubungan antara sila pertama dan konstitusi ini menciptakan landasan hukum yang kokoh untuk menjunjung tinggi pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia.

KUHP Baru dipandang mendukung keharmonisan kehidupan beragama dengan memberikan perlindungan hukum terhadap individu atau kelompok yang menjalankan ibadah atau aktivitas keagamaan, sehingga mencegah gangguan fisik maupun psikologis yang dapat merusak kedamaian beragama. Selain itu, aturan ini menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi konflik antarumat beragama melalui pengaturan terhadap tindakan seperti ujaran kebencian, diskriminasi, atau kekerasan berbasis agama, yang berkontribusi pada stabilitas nasional. Secara serta merta turut menjamin hak kelompok minoritas untuk menjalankan keyakinan mereka tanpa rasa takut atau ancaman, regulasi ini menciptakan rasa aman dalam masyarakat yang majemuk. Lebih lanjut, larangan terhadap tindakan yang mengarah pada permusuhan atau kekerasan membantu menciptakan batasan yang jelas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran terhadap hak orang lain.

Kontra – Potensi Penyalahgunaan, Bersifat Subjektif, dan Multitafsir

Atika Yuanita Paraswaty dalam buku berjudul “Parliamentary Brief : Series #8 Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” menjelaskan bahwa dalam kajian hukum pidana dan hak kebebasan beragama, penghinaan terhadap agama merupakan hal yang sulit diukur secara materiil, sehingga pembuktiannya menjadi sangat kompleks. Kesulitan ini timbul karena aspek tersebut sangat bergantung pada subjektivitas individu. Subjektivitas ini berbahaya dalam konteks hukum pidana karena sifatnya yang “karet” dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan di luar hukum.

Saat ini, beberapa negara telah menghapus ketentuan mengenai tindak pidana penistaan agama, seperti Belanda. Salah satu alasan utamanya adalah pandangan bahwa “Tuhan tidak membutuhkan perlindungan dari negara.” Oleh karena itu, fokus perlindungan hukum seharusnya dialihkan kepada ketentuan mengenai ujaran kebencian (hate speech), yang memiliki dua aspek penting. Pertama, tindakan kebencian yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas, karena berpotensi memprovokasi massa untuk melakukan kejahatan berdasarkan SARA. Kedua, tindakan diskriminasi atau perlakuan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap minoritas yang dapat memicu gejolak sosial hingga kekerasan yang lebih masif.

Ketentuan mengenai ujaran kebencian semestinya diatur secara lebih rinci dalam KUHP untuk mencegah tindak pidana yang dapat menimbulkan konflik sosial. Kategorisasi ujaran kebencian juga penting dilakukan. Ujaran yang wajib dilarang, seperti genosida, perlu diatur dengan tegas, sedangkan serangan berulang terhadap individu dapat diatur untuk dicegah. Namun, bentuk toleransi atau dakwah sebagai manifestasi keagamaan tidak boleh dilarang, karena hal ini dipandang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan beragama.

Selain penjelasan di atas, ketentuan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam KUHP Baru menuai kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan dan pembatasan kebebasan. Ketidakjelasan definisi tindakan permusuhan atau ujaran kebencian dapat mengancam kebebasan berbicara dan berpendapat, sehingga berpotensi digunakan untuk membatasi kritik yang sah terhadap agama atau kepercayaan tertentu. Dalam praktiknya, hal ini juga membuka peluang penyalahgunaan hukum untuk menyerang individu atau kelompok dengan pandangan yang berbeda, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi.

Selain itu, aturan ini dapat menghambat dialog terbuka yang penting untuk kemajuan sosial dan pluralisme. Pembatasan berlebihan terhadap kebebasan berbicara bisa menciptakan efek membungkam (chilling effect), sehingga masyarakat menjadi enggan mendiskusikan isu-isu sensitif terkait agama dan kepercayaan. Ketidakjelasan kriteria dalam membedakan antara kritik, analisis ilmiah, dan tindakan permusuhan juga berisiko menimbulkan multitafsir, yang menyulitkan implementasi hukum secara adil dan konsisten.

Catatan Penulis

KUHP Baru berupaya melindungi harmoni sosial dan kebebasan beragama, tetapi juga memunculkan tantangan dalam upaya memperbaiki paradigma. Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa aturan ini dapat diimplementasikan dengan prinsip keadilan dan tidak melanggar hak asasi manusia, terutama kebebasan berbicara. Dengan demikian, diperlukan pengawasan yang ketat dan pemahaman yang baik mengenai batasan hukum untuk menjamin keseimbangan antara perlindungan kehidupan beragama dan kebebasan individu.

 

Artikel Terkait

Rekomendasi