“Bahwa organisasi advokat di luar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bukan merupakan organisasi profesi melainkan hanya organisasi masyarakat (ormas)-Yusril”
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) selama dua hari (5-6 Desember 2024) di Jimbaran, Bali. Rakernas bertajuk “Penguatan Peradi sebagai State Organ dan Satu-satunya Organisasi Advokat Indonesia” dihadiri ratusan peserta dari 192 cabang se-Indonesia.
Rakernas yang telah berakhir ini menuai polemik dikalangan praktisi hukum, terkhususnya kalangan yang berprofesi advokat pada organisasi yang bukan tergabung serta pendukung Peradi itu sendiri.
Ini bukan tanpa sebab, hal ini berimbas atas pernyataan Yusril Ihza Mahendra, selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, “bahwa organisasi advokat di luar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bukan merupakan organisasi profesi melainkan hanya organisasi masyarakat (ormas)”. Kenapa bisa ya, seorang Menko menyampaikan hal se “blunder” ini?
Begitulah kira-kira salah satu bentuk kekecewaan yang disampaikan oleh praktisi hukum di laman media sosialnya. Bukan di media sosial saja hal ini juga memicu polemik yang cukup tajam di kalangan para akademisi, praktisi atau pegiat hukum yang tergabung di Asosiasi Peneliti dan Pengajar Ilmu Hukum Indonesia (APPIHI).
Polemik ini seakan membuka kembali perdebatan lama tentang keabsahan organisasi advokat di luar Peradi dalam sistem hukum Indonesia. Yusril berpendapat bahwa Peradi, sebagai organisasi yang diakui Mahkamah Agung (MA), memiliki legitimasi tunggal untuk menjadi organisasi profesi advokat. Dalam pandangannya, organisasi advokat di luar Peradi tidak memiliki landasan hukum yang cukup kuat untuk mengklaim status organisasi profesi. Pernyataan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang kerap diinterpretasikan berbeda oleh berbagai pihak.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan fragmentasi organisasi advokat di Indonesia. Selain Peradi, terdapat berbagai organisasi lain seperti Kongres Advokat Indonesia (KAI), Peradin, dan sebagainya, yang juga mengklaim legitimasi sebagai organisasi profesi.
Pernyataan Yusril mendapat dukungan dari pihak-pihak yang selama ini mendorong unifikasi organisasi advokat di bawah satu payung, yakni Peradi. Mereka berargumen bahwa fragmentasi organisasi advokat justru melemahkan profesi advokat dan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat yang membutuhkan jasa hukum.
Tentunya pernyataan ini juga menuai kritik keras dari organisasi di luar Peradi. Mereka menganggap bahwa Yusril terlalu menyederhanakan persoalan. Argumentasi utama mereka adalah bahwa UU Advokat tidak secara eksplisit menyebut Peradi sebagai satu-satunya organisasi profesi, melainkan memberi ruang untuk pembentukan organisasi profesi yang memenuhi syarat.
Jika pernyataan Yusril diterima tanpa diskusi lebih lanjut, ini dapat menimbulkan implikasi hukum serius. Advokat yang tergabung dalam organisasi di luar Peradi mungkin akan menghadapi tantangan legalitas dalam praktik mereka. Hal ini berpotensi merugikan masyarakat yang menggunakan jasa mereka.
Sebaliknya, jika polemik ini tidak segera diselesaikan, profesi advokat akan terus terpecah. Ketidakpastian hukum ini dapat mencoreng citra profesi advokat di mata publik, sekaligus menghambat upaya peningkatan kualitas dan integritas advokat di Indonesia.
Untuk mengatasi polemik ini, diperlukan langkah konkret dari pemerintah, Mahkamah Agung, dan seluruh organisasi advokat. Salah satu solusinya adalah menyelenggarakan musyawarah nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan untuk mencapai konsensus tentang definisi organisasi profesi advokat.
Selain itu, revisi UU Advokat dapat menjadi jalan keluar untuk memberikan kepastian hukum yang lebih tegas. Revisi ini dapat mencakup mekanisme pengakuan organisasi profesi advokat dan persyaratan yang harus dipenuhi.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra mengangkat isu penting tentang unifikasi organisasi advokat di Indonesia. Tapi, pernyataan itu jangan sampai melukai atau menciderai organisasi lain. Maka dari itu, perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif untuk menyelesaikan polemik ini. Alih-alih memperuncing perpecahan, momen ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat profesi advokat sebagai pilar penegakan hukum yang profesional, independen, dan berintegritas.
Seharusnya sebagai negara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa profesi advokat tidak hanya dipandu oleh regulasi yang jelas, tetapi juga oleh semangat kolaborasi demi keadilan bagi semua. Bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu!