Perlindungan Konsumen terhadap Pembelian Rumah Subsidi

lt62d0b23447554

Kebutuhan akan perumahan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Negara melalui program rumah subsidi berupaya mewujudkan hal ini dengan menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sayangnya, di balik niat mulia tersebut, praktik di lapangan memperlihatkan realitas yang kontras banyak konsumen justru menjadi korban karena lemahnya perlindungan hukum yang tersedia.

Program rumah subsidi seharusnya memberikan kelegaan bagi MBR yang selama ini terpinggirkan dari pasar perumahan komersial. Namun berbagai laporan dan pengaduan menunjukkan masalah yang kronis: rumah diserahterimakan dalam kondisi tak layak huni, keterlambatan pembangunan, kualitas material rendah, serta sertifikat yang tak kunjung diberikan meski cicilan berjalan.

Sebagian besar konsumen bahkan tidak memahami sepenuhnya isi perjanjian jual beli, karena klausul-klausul disodorkan dalam bentuk baku dan bersifat sepihak. Banyak pengembang mencantumkan ketentuan yang merugikan, seperti pembebanan denda secara tidak seimbang, pernyataan bahwa konsumen dianggap setuju atas segala kondisi bangunan, atau pengabaian hak konsumen untuk membatalkan perjanjian jika terjadi wanprestasi dari pihak pengembang.

Klausul Baku dan Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) secara tegas melarang pencantuman klausul baku yang tidak adil. Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul yang menyatakan bahwa pelaku usaha dapat menolak pengembalian barang yang dibeli, atau menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha secara mutlak atas sesuatu yang belum dikenal sifat, bentuk, atau manfaatnya. Klausul yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha atau memindahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada konsumen juga dilarang.

Namun dalam kenyataan, pelanggaran terhadap ketentuan ini masih marak terjadi. Kelemahan posisi tawar konsumen, minimnya literasi hukum, dan kurangnya pengawasan dari instansi pemerintah membuat konsumen rumah subsidi nyaris tak memiliki perisai hukum yang efektif.

Di atas kertas, peran pemerintah dalam menjamin kualitas dan keadilan dalam program rumah subsidi sudah cukup lengkap. Instrumen hukum seperti Peraturan Menteri PUPR No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Pengawasan dan Pengendalian terhadap Pemberian Bantuan Pembiayaan Perumahan bagi MBR telah disusun. Namun efektivitas implementasinya lemah.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat sektor perumahan dan properti sebagai salah satu sektor yang paling banyak diadukan konsumen setiap tahunnya. Ini menunjukkan pengawasan dan penegakan hukum belum berjalan optimal. Seharusnya pemerintah tidak hanya menjadi regulator dan fasilitator, tetapi juga pengawas aktif dan penegak keadilan.

Koordinasi antar-lembaga seperti Kementerian PUPR, OJK, BPKN, bahkan kepolisian dan kejaksaan sangat penting agar pelanggaran tidak dianggap remeh. Ketika pelaku usaha melanggar, negara wajib hadir sebagai pembela masyarakat lemah, bukan hanya berdiri sebagai pihak netral.

Aspek Hukum Perjanjian dan Imbalan Keadilan

Dalam hukum perdata Indonesia, asas kebebasan berkontrak mengakui bahwa para pihak bebas menentukan isi perjanjian. Namun asas ini tidak berlaku mutlak. Hukum mewajibkan agar perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan (Pasal 1320 KUHPerdata). Oleh karena itu, perjanjian jual beli rumah subsidi yang mencantumkan klausul baku yang melanggar UUPK harus dinyatakan batal demi hukum atau setidaknya dapat dibatalkan.

Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah menegaskan bahwa klausul baku yang merugikan konsumen dapat dianggap tidak sah. Misalnya, dalam Putusan MA No. 2715 K/Pdt/2006, majelis hakim menyatakan bahwa klausul sepihak dalam perjanjian kredit antara konsumen dan bank yang merugikan konsumen tidak memiliki kekuatan mengikat. Pendekatan semacam ini dapat menjadi landasan yurisprudensial bagi konsumen rumah subsidi untuk menggugat pelaku usaha yang bertindak sewenang-wenang.

Menurut saya untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih efektif, perlu dilakukan harmonisasi dan revisi terhadap regulasi yang mengatur rumah subsidi. Pemerintah perlu menetapkan standar minimum kualitas bangunan yang dapat diaudit secara berkala, serta memastikan bahwa proses jual beli tidak hanya memperhatikan aspek administratif, tetapi juga keadilan substansial bagi konsumen.

Pengembang yang melanggar harus dikenai sanksi administratif, perdata, bahkan pidana. Sistem blacklist pengembang yang nakal harus dipublikasikan secara terbuka, agar konsumen dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, peran notaris dan PPAT dalam proses jual beli harus diperkuat. Notaris tidak boleh hanya menjadi perpanjangan tangan pengembang, melainkan juga penjaga kepastian dan keadilan hukum bagi konsumen. Dalam banyak kasus, notaris justru hanya membacakan perjanjian tanpa menjelaskan hak dan kewajiban para pihak secara memadai.

Konsumen rumah subsidi sering kali berada dalam posisi tidak setara karena keterbatasan informasi, akses hukum, dan kapasitas negosiasi. Oleh karena itu, pendekatan perlindungan konsumen harus mencakup aspek edukasi hukum yang menyasar MBR secara langsung.

Pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi, dan komunitas hukum perlu aktif memberikan penyuluhan dan bantuan hukum gratis kepada calon pembeli rumah subsidi. Skema mediasi wajib atau arbitrase sederhana dalam sektor perumahan subsidi juga perlu dipertimbangkan agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cepat dan berbiaya rendah.

Perlindungan konsumen terhadap pembelian rumah subsidi bukanlah perkara teknis, melainkan wujud nyata dari komitmen negara terhadap keadilan sosial. Ketika masyarakat berpenghasilan rendah membeli rumah dengan segala keterbatasannya, negara seharusnya hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung. Tanpa perlindungan hukum yang kuat, rumah subsidi bukan menjadi solusi, tetapi jebakan hukum yang menyengsarakan rakyat kecil.

Sudah saatnya sistem perlindungan konsumen di sektor ini dibangun bukan hanya melalui regulasi, tetapi juga melalui keberpihakan nyata pada mereka yang paling rentan. Sebab rumah bukan sekadar bangunan, melainkan simbol keadilan, martabat, dan harapan. Semoga!

Artikel Terkait

Rekomendasi