Perlindungan Data Pribadi yang Tak Terlindungi

https://www.law-justice.co/artikel/165971/analisis-hukum-vonis-mk-mencabut-pasal-pencemaran-nama-baik--hoax-/

Di era digital ini, data pribadi telah menjadi “mata uang” baru. Mulai dari nama, alamat, nomor identitas, hingga riwayat belanja dan preferensi pribadi, semuanya direkam, disimpan, dan diperdagangkan. Data kita tidak lagi sekadar catatan administratif; ia telah berubah menjadi komoditas bernilai tinggi yang diburu korporasi, dimanfaatkan oleh pelaku bisnis, bahkan menjadi sasaran empuk para peretas. Ironisnya, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perlindungan itu masih jauh dari kata memadai.

Fenomena kebocoran data kian hari kian mengkhawatirkan. Situs pemerintah diretas, data kependudukan diperjualbelikan di forum gelap, dan informasi sensitif masyarakat bocor begitu saja ke tangan pihak tak bertanggung jawab. Bahkan, di beberapa kasus, data medis pasien rumah sakit menjadi komoditas yang laku keras di pasar ilegal. Semua ini memperlihatkan bahwa perlindungan data pribadi kita nyaris “tak terlindungi”, meski secara normatif, regulasinya sudah ada.

UU PDP diharapkan menjadi tonggak penting dalam mengakhiri era “kebocoran massal” data pribadi. Namun, keberadaan undang-undang ini seperti kapal megah tanpa nakhoda. Peraturan turunan yang lengkap belum sepenuhnya siap, lembaga pengawas independen belum efektif bekerja, dan kesadaran publik masih minim.

Padahal, dalam Pasal 58 UU PDP, jelas diatur sanksi administratif bagi pengendali data yang lalai melindungi informasi pribadi. Bahkan, ada ancaman pidana hingga denda miliaran rupiah. Namun, hingga hari ini, publik belum melihat sanksi tegas yang dijatuhkan kepada pelaku kebocoran data berskala besar. Tidak ada contoh penegakan hukum yang bisa menjadi efek jera. Akibatnya, pelaku bisnis dan instansi publik masih cenderung menganggap enteng kewajiban mereka untuk menjaga data pribadi.

Kelemahan ini mengindikasikan bahwa perlindungan data di Indonesia belum ditempatkan sebagai prioritas utama keamanan nasional. Padahal, di negara-negara maju seperti Uni Eropa, pelanggaran perlindungan data bisa mengakibatkan perusahaan raksasa membayar denda ratusan juta euro.

Data pribadi yang bocor bukan sekadar angka-angka di layar komputer. Ia membawa risiko nyata bagi pemiliknya. Penipuan digital, pencurian identitas, peretasan akun perbankan, bahkan pemerasan, semua bisa terjadi akibat data yang beredar di tangan pihak yang salah.

Kita bisa membayangkan, ketika nomor telepon dan alamat email pribadi jatuh ke tangan spammer, gelombang penipuan melalui pesan singkat akan menghantui. Lebih parah lagi, jika data biometrik atau rekam medis bocor, dampaknya bisa permanen karena data jenis ini tidak dapat diubah seperti nomor telepon.

Kebocoran data juga berpotensi mengganggu keamanan negara. Jika data sensitif pegawai pemerintah atau aparat penegak hukum bocor, hal itu bisa dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan spionase atau sabotase. Sayangnya, kesadaran akan ancaman ini masih rendah di kalangan pembuat kebijakan maupun publik.

Budaya “Abai Privasi”

Salah satu penyebab lemahnya perlindungan data pribadi di Indonesia adalah budaya “abai privasi” yang telah mengakar. Banyak orang rela memberikan data pribadinya demi hadiah kecil, potongan harga, atau sekadar ikut undian. Aplikasi seluler meminta akses ke kontak, galeri foto, dan lokasi, dan kita menyetujuinya tanpa membaca ketentuan layanan.

Sikap permisif ini memberi ruang bagi perusahaan untuk mengumpulkan data tanpa batas. Bahkan, ketika terjadi kebocoran, reaksi publik sering kali hanya berupa keluhan sesaat di media sosial, tanpa dorongan serius untuk menggugat atau menuntut pertanggungjawaban.

Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi dan rasa aman. Perlindungan data pribadi seharusnya menjadi bagian dari hak konstitusional tersebut. Oleh karena itu, negara tidak boleh bersikap pasif.

Pemerintah perlu mempercepat pembentukan otoritas pengawas perlindungan data yang independen, dengan kewenangan yang jelas, sumber daya memadai, dan kebebasan dari intervensi politik. Lembaga ini harus mampu melakukan investigasi, menjatuhkan sanksi, dan mempublikasikan hasil penegakan hukum secara transparan.

Selain itu, sektor publik harus memberi teladan. Jika instansi pemerintah masih menjadi sumber kebocoran data, bagaimana mungkin sektor swasta akan patuh? Audit keamanan siber terhadap sistem informasi pemerintah harus dilakukan secara berkala dan hasilnya diumumkan ke publik.

Edukasi Publik dan Literasi Digital

Regulasi dan penegakan hukum tidak akan efektif tanpa dukungan kesadaran publik. Pemerintah bersama lembaga pendidikan dan media harus gencar melakukan literasi digital yang menekankan pentingnya melindungi data pribadi.

Masyarakat harus diajarkan untuk bersikap kritis terhadap permintaan data, menggunakan kata sandi yang kuat, memanfaatkan autentikasi dua faktor, dan menghindari berbagi informasi sensitif secara sembarangan. Kesadaran kolektif inilah yang akan menjadi benteng pertama dalam menghadapi ancaman kebocoran data.

Indonesia tidak boleh menunggu skandal kebocoran data berskala besar yang mengakibatkan kerugian nasional sebelum mengambil langkah serius. Negara-negara lain sudah memposisikan data sebagai aset strategis yang dilindungi dengan ketat. Kita pun harus menempatkan perlindungan data pribadi dalam kerangka keamanan nasional, bukan sekadar isu teknis IT.

Kita perlu belajar dari kebocoran data yang telah terjadi: setiap kali insiden terjadi, yang rugi bukan hanya korban langsung, tetapi juga reputasi negara, kepercayaan publik, dan integritas sistem pemerintahan. Jika terus diabaikan, kerugian itu akan menjadi permanen.

Perlindungan data pribadi di Indonesia saat ini ibarat pagar rumah yang megah namun berlubang di banyak tempat. Kita memiliki undang-undang yang relatif baru, tetapi penegakan hukum, infrastruktur keamanan, dan kesadaran publik masih tertinggal jauh.

Sudah saatnya pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat bersatu untuk menutup celah tersebut. Tanpa langkah nyata, data pribadi warga negara akan terus menjadi santapan empuk bagi pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Dan ketika itu terjadi, perlindungan data pribadi yang kita banggakan hanyalah nama tanpa makna.

Artikel Terkait

Rekomendasi