Perdagangan Elektronik ASEAN: Ratifikasi Tanpa Nyawa, Integrasi Tanpa Arah?

Ratifikasi-Perjanjian-Internasional-Kunci-Mengubah-Janji-Menjadi-Hukum-2360199555

Perdagangan elektronik telah menjadi wajah baru ekonomi global. Tak terkecuali bagi kawasan ASEAN yang kini berpacu merumuskan arsitektur hukum bersama guna menghadapi tantangan dan peluang digitalisasi ekonomi. Salah satu langkah konkret ialah penandatanganan ASEAN Agreement on Electronic Commerce (AAEC) pada 2019 yang mengatur kerangka kerja e-commerce lintas batas negara anggota.

Namun, di balik gaung integrasi digital ini, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, secara sungguh-sungguh meratifikasi dan mengimplementasikan perjanjian ini ke dalam sistem hukumnya? Apakah ratifikasi hanya menjadi formalitas diplomatik, tanpa jaminan keadilan dan perlindungan hukum yang nyata bagi pelaku usaha dan konsumen digital?

Ratifikasi perjanjian internasional pada prinsipnya merupakan proses konstitusional yang menunjukkan keseriusan negara untuk mengikatkan diri secara hukum pada norma internasional tertentu. Dalam konteks Indonesia, ratifikasi perjanjian perdagangan dilakukan melalui undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Namun, tidak semua perjanjian perdagangan elektronik diratifikasi secara memadai. Sebagian hanya masuk dalam ranah executive agreement tanpa mekanisme kontrol parlemen. Akibatnya, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan AAEC atau CPTPP (bagi negara anggota) sering terhambat oleh tumpang tindih regulasi, lemahnya perlindungan konsumen digital, dan tidak adanya standar operasional untuk penyelesaian sengketa lintas batas.

Padahal, seperti dikemukakan Ian Brownlie dalam Principles of Public International Law (2008), ratifikasi bukan hanya simbol politik, tetapi “a necessary act of internalization which signals the intent to transform treaty norms into justiciable rights and obligations”.

Dalam perjanjian AAEC, negara anggota ASEAN berkomitmen menjamin arus data lintas batas, larangan pengenaan tarif atas produk digital, serta penggunaan tanda tangan elektronik yang sah di seluruh kawasan. Di tingkat nasional, perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce masih timpang.

Di Indonesia, misalnya, UU Perlindungan Konsumen dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) belum sepenuhnya kompatibel dengan prinsip interoperability dan mutual recognition yang disyaratkan perjanjian ASEAN. Ditambah lagi, banyak pelaku UMKM digital belum memiliki jaminan terhadap transaksi lintas negara yang merugikan mereka karena ketiadaan forum penyelesaian sengketa transnasional yang jelas.

Di sinilah letak paradoksnya. ASEAN ingin menjadi pasar digital tunggal, tetapi membiarkan kelemahan struktural di negara anggotanya tanpa intervensi kebijakan yang konkret dan terukur. Jika demikian, bagaimana mungkin kepercayaan digital bisa tumbuh?

Harmonisasi Hukum: Dari Lip Service ke Reformasi Struktural

Salah satu jalan keluar ialah membangun mekanisme ratifikasi yang tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga bersandar pada audit implementasi. ASEAN harus membentuk Digital Trade Compliance Review Mechanism sebagai forum periodik untuk mengukur sejauh mana negara anggota menerjemahkan komitmen digital ke dalam undang-undang nasional.

Indonesia sendiri harus bergerak cepat memperbarui kerangka hukum e-commerce, termasuk memperjelas status hukum kontrak elektronik lintas negara, memperkuat perlindungan data pribadi (UU PDP baru belum cukup operasional), serta membuka jalur penyelesaian sengketa berbasis online dispute resolution yang diakui lintas negara ASEAN.

Seperti dikatakan Friedrich Schiller, “The voice of the law is the voice of the people.” Jika hukum perdagangan digital tak menjawab kebutuhan pelaku usaha kecil dan konsumen, maka ratifikasi perjanjian hanya akan menjadi instrumen elite yang jauh dari denyut ekonomi rakyat.

Kawasan ini memiliki potensi menjadi kekuatan digital global. Menurut laporan Google-Temasek (2023), nilai ekonomi digital ASEAN diprediksi menembus 300 miliar dolar AS pada 2025. Namun tanpa sistem hukum yang andal dan saling terhubung, angka-angka itu bisa menjadi fatamorgana.

Sudah saatnya kita melihat ratifikasi bukan sekadar kewajiban internasional, tetapi bagian dari agenda keadilan digital. Integrasi ekonomi ASEAN harus dibarengi dengan integrasi norma hukum, bukan hanya untuk memudahkan perdagangan, tetapi juga untuk memastikan hak dan kepastian hukum bagi semua pihak.

Tanpa itu, perdagangan elektronik ASEAN hanya akan jadi arena bagi korporasi besar lintas negara, sementara UMKM dan konsumen kita tetap menjadi penonton di panggung integrasi regional yang megah namun hampa.

Artikel Terkait

Rekomendasi