Pendidikan Tanpa Keadilan Adalah Kekosongan

jah

Pendidikan sering dielu-elukan sebagai jalan menuju kemerdekaan berpikir, ruang bagi pertumbuhan manusia seutuhnya, serta alat mencetak generasi beradab. Namun, semua itu menjadi jargon hampa bila pendidikan diselenggarakan tanpa keadilan. Tanpa keadilan, pendidikan kehilangan jiwa. Ia menjelma jadi rutinitas administratif, sekadar kurikulum dan kredit semester yang tak menyentuh nurani.

Apa artinya pendidikan jika di ruang-ruang kelas yang seharusnya aman, justru terjadi kekerasan seksual? Apa gunanya gelar dan akreditasi, jika seorang mahasiswa harus menanggung trauma diam-diam karena pelecehan oleh dosen atau senior, dan kampus memilih bungkam?

Kekerasan seksual di institusi pendidikan bukan persoalan moral belaka. Ia adalah bentuk nyata dari ketimpangan struktural yang tidak dikoreksi. Relasi kuasa antara pendidik dan peserta didik membuka ruang bagi dominasi, dan ketika kekuasaan tak disertai tanggung jawab, kekerasan menjadi tak terhindarkan.

UNESCO dalam laporan “Behind the Numbers:Ending School Violence and Bullying” mencatat bahwa lebih dari 30% pelajar dan mahasiswa di Asia pernah mengalami kekerasan berbasis gender di lingkungan pendidikan. Di Indonesia, Komnas Perempuan menerima 44 pengaduan kekerasan seksual di institusi pendidikan sepanjang tahun 2023, sebagian besar pelakunya adalah dosen, pembina organisasi, atau tenaga kependidikan.

Namun, laporan itu hanyalah puncak gunung es. Sebagian besar korban tidak melapor. Bukan karena tidak tahu hukum, tetapi karena tahu bahwa sistem belum berpihak padanya.

Reputasi Institusi yang Menindas

Seringkali ketika kasus kekerasan terungkap, yang segera bergerak bukanlah mekanisme keadilan, tetapi mekanisme perlindungan reputasi. Kampus takut tercoreng, takut kehilangan mahasiswa baru, atau takut “dikucilkan” oleh komunitas akademik. Maka, pelaku disembunyikan, korban dibungkam, dan kasus didiamkan.

Pakar pendidikan Paulo Freire pernah menulis: “Silence is the voice of complicity.” Diamnya institusi adalah bentuk keberpihakan—pada pelaku, bukan korban. Ketika keadilan dikalahkan oleh gengsi akademik, pendidikan berubah menjadi alat normalisasi kekuasaan, bukan pembebas dari ketidakadilan.

Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka hukum yang relatif progresif. Hadirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi menjadi tonggak penting. Regulasi ini tidak hanya mengakui kerentanan korban, tetapi juga menekankan pentingnya prinsip persetujuan dan relasi kuasa dalam konteks akademik.

Namun, implementasinya masih menghadapi perlawanan. Beberapa perguruan tinggi menolak membentuk Satgas PPKS, dengan alasan otonomi kampus atau tafsir nilai lokal. Padahal, Pasal 7 ayat (1) Permendikbudristek 30/2021 menyebutkan bahwa: “Perguruan tinggi wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.”

Lebih lanjut, dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa kekerasan seksual mencakup perbuatan fisik, verbal, hingga nonfisik yang menyerang tubuh dan martabat seseorang secara seksual. Artinya, tidak ada lagi ruang abu-abu. Pelecehan dalam bentuk cat-calling, komentar tubuh, hingga pesan tidak pantas dari dosen, sudah bisa dikualifikasikan sebagai kekerasan seksual.

Apa gunanya regulasi jika budaya akademik masih menormalisasi kekerasan? Kita melihat bagaimana kasus baru-baru ini yang melibatkan salah satu guru besar di Universitas Gajah Mada (UGM), kasus ini baru bergulir setelah adanya tekanan dari publik. Bahkan dalam beberapa kasus, pelaku malah mendapat promosi atau perlindungan informal dari sesama kolega. Tidak menutup kemungkinan kasus yang sama terjadi di Universitas lain yang ada di Indonesia saat ini.

Keadilan Bukan Netralitas

Masih banyak yang beranggapan bahwa keadilan berarti netralitas—bahwa kita harus mendengarkan “kedua sisi” secara seimbang. Tapi dalam kasus kekerasan seksual, posisi korban dan pelaku tidak setara. Korban membawa luka, ketakutan, dan kerugian akademik. Sementara pelaku, apalagi jika ia bagian dari struktur kekuasaan kampus, memiliki privilege dan pengaruh.

Itulah sebabnya keadilan harus berpihak. Seperti kata Ruth Bader Ginsburg, Hakim Agung AS: “Real change, enduring change, happens one step at a time—by daring to stand on the side of the marginalized.” Keadilan tak cukup hanya hadir di atas kertas; ia harus memihak mereka yang selama ini disisihkan.

Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi tempat bertumbuh. Jika kekerasan seksual dibiarkan, kampus telah gagal dalam fungsi dasarnya: menciptakan ruang aman untuk manusia belajar menjadi manusia.

Mahasiswa bukan sekadar pencari gelar. Mereka adalah pribadi yang tumbuh dalam lingkungan yang membentuk. Jika lingkungan itu korup secara etis, maka lulusan yang dihasilkan pun akan terbiasa pada ketimpangan. Kita mungkin mencetak sarjana, tapi kehilangan kemanusiaan.

Pendidikan yang menutup mata pada kekerasan seksual adalah pendidikan yang cacat. Ia mungkin memiliki akreditasi unggul, tapi gagal dalam hal paling mendasar: melindungi manusia.

Sudah saatnya kampus dan sekolah menyadari bahwa membongkar kekerasan bukanlah merusak nama baik, tetapi merawat martabat institusi. Kita butuh keberanian untuk berpihak—bukan demi pencitraan, tetapi demi keadilan yang sesungguhnya.

Karena tanpa keadilan, pendidikan tak lebih dari seremonial gelar dan ijazah. Ia kosong dari nurani. Dan pendidikan yang kosong dari nurani, hanya akan melahirkan generasi yang pintar, tapi tak peduli.

Artikel Terkait

Rekomendasi