Pencabutan Kolom Opini dan Sensor Terselubung di Ruang Redaksi “Menolak Bungkam, Menolak Takut!”

1748099504660

Kebebasan pers adalah fondasi demokrasi. Di tengah iklim digital yang terus bergeser, kita dihadapkan pada ironi: informasi mengalir lebih deras dari sebelumnya, namun kebebasan berpendapat semakin dibatasi, perlahan tapi pasti. Salah satu bentuk pembatasan itu adalah pencabutan tulisan opini dari ruang publik media daring, tanpa alasan yang terang, tanpa akuntabilitas yang kuat.

Peristiwa terbaru yang memantik perhatian publik adalah pencabutan kolom opini dari laman Detik.com pada 22 Mei 2025. Tulisan itu sempat mengudara sejenak, namun ditarik tanpa penjelasan kepada publik, tanpa transparansi dari redaksi. Menanggapi hal tersebut, Dewan Pers merilis siaran pers bernomor 10/SP/DP/V/2025 yang menyatakan bahwa pencabutan artikel opini tersebut dilakukan tanpa rekomendasi, saran, maupun permintaan apa pun dari Dewan Pers. Ini berarti, keputusan sepenuhnya berasal dari internal redaksi Detik.com.

Fakta ini mengundang banyak pertanyaan mendasar. Jika tidak ada tekanan formal dari Dewan Pers, maka siapa yang mendorong pencabutan itu? Atas dasar apa sebuah opini warga negara—yang dijamin konstitusional dihilangkan dari ruang publik? Inilah yang mesti kita waspadai sebagai bentuk sensor terselubung di tengah masyarakat demokratis.

Menguji Otoritas Redaksi dalam Bingkai Etika dan Hukum

Dalam sistem pers yang merdeka, redaksi memang memiliki otonomi. Namun, otonomi tersebut bukan kuasa absolut. Redaksi wajib bekerja dalam kerangka etika jurnalistik dan perlindungan hak-hak konstitusional warga. Ketika sebuah opini dicabut secara sepihak, terlebih tanpa permintaan dari penulis, maka itu adalah bentuk intervensi terhadap kebebasan berekspresi.

Dewan Pers dengan jelas menekankan pentingnya menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik dalam setiap proses koreksi maupun pencabutan berita. Prosedur tersebut tidak boleh dilandasi ketakutan terhadap kritik, tekanan sponsor, atau ketidaknyamanan penguasa terhadap suara warga. Terlebih lagi, opini yang disampaikan bukan berita bohong atau ujaran kebencian, melainkan pandangan akademis terhadap persoalan publik.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Bahkan lebih jauh lagi, Pasal 18 undang-undang yang sama menyebutkan bahwa setiap tindakan menghambat atau menghalangi kebebasan pers dapat dipidana.

Artinya, jika pencabutan dilakukan karena adanya tekanan dari luar—baik langsung maupun tidak—maka itu bukan semata masalah internal redaksi, melainkan potensi pelanggaran hukum terhadap kemerdekaan pers.

Ketika Ketakutan Mengalahkan Kebenaran

Ketiadaan penjelasan dari redaksi Detik.com menimbulkan spekulasi yang tak terhindarkan. Mengapa sebuah media sebesar Detik.com mencabut opini tanpa penjelasan yang layak? Seakan ragu dalam menyampaikan kebenaran. Siapa sebenarnya yang merasa terganggu oleh tulisan tersebut? Apakah ini bentuk “pengamanan wacana” terhadap pandangan yang tidak sejalan dengan kekuasaan? Publik kembali dibuat bertanya, dengan sikap dan informasi yang disampaikan redaksi Detik.com. Pertama pihak redaksi menyatakan atas rekomendasi dewan pers, tiba-tiba dirubah ; atas keteledoran redaksi bahwa itu bukan atas rekomendasi dewan pers tapi atas permintaan penulis itu sendiri, ada apa sebenarnya?

Kekhawatiran semacam ini tidak berlebihan. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang publik semakin dipersempit. Suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah, termasuk dari kalangan akademisi, sering kali dibungkam secara halus. Pencabutan tulisan opini adalah salah satu modusnya. Tidak frontal, tidak keras, tapi sangat efektif: suara itu hilang, diskursus publik terhenti, dan warga menjadi lebih berhati-hati untuk bersuara.

Dewan Pers dalam siaran persnya menyampaikan keprihatinan atas potensi intimidasi terhadap penulis opini di Detik.com. Ini sinyal penting. Ketika seorang penulis menghadapi tekanan hanya karena menyampaikan pandangan, maka demokrasi sedang dalam bahaya. Lebih parah lagi jika media ikut berperan sebagai alat pembungkam, bukannya sebagai pelindung kebebasan berekspresi.

Hak Penulis, Hak Publik

Dewan Pers juga menegaskan bahwa pencabutan opini adalah hak yang melekat pada penulis, bukan pada pihak lain. Jika pun ada permintaan pencabutan, itu seharusnya datang dari penulisnya sendiri, bukan dari narasumber, bukan pula dari pembaca yang tersinggung. Bahkan redaksi pun, secara etis, mesti mendiskusikan secara terbuka dan profesional sebelum menghapus tulisan tersebut.

Persoalan ini bukan hanya soal hak penulis. Ini adalah soal hak publik untuk mendapatkan informasi dan perspektif yang beragam. Ketika opini kritis dihapus, maka publik kehilangan kesempatan untuk berpikir lebih luas. Ini bertentangan dengan fungsi media sebagai watchdog demokrasi dan sebagai ruang pembelajaran publik.

Dalam konteks ini, Dewan Pers mengingatkan agar media menghargai semua bentuk ekspresi warga atas isu-isu kebijakan. Media tidak boleh hanya menjadi pengeras suara penguasa atau pelumas narasi dominan. Tugas media adalah memastikan bahwa ruang publik tetap terbuka, tidak hanya untuk mereka yang berkuasa, tetapi juga untuk mereka yang mengkritik kekuasaan.

Ancaman Nyata di Tengah Demokrasi Simulatif

Peristiwa ini seolah memperlihatkan paradoks demokrasi: secara formal kita hidup dalam negara demokratis, namun dalam praktik, demokrasi itu hanya bersifat simulatif. Kritik boleh, tapi dibatasi. Opini boleh, asal tidak menyinggung yang berkuasa. Media bebas, tapi tunduk pada logika pasar dan kekuasaan. Ini kondisi yang mengkhawatirkan.

Jika kita membiarkan media melakukan pencabutan sepihak tanpa transparansi dan tanpa dasar etik yang kuat, maka kita membuka jalan bagi normalisasi sensor terselubung. Maka akan tiba saatnya di mana publik tidak lagi percaya pada media, dan itu akan meruntuhkan pilar utama demokrasi.

Apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini? Pertama, bahwa kebebasan berekspresi masih berada di ruang rawan. Kedua, bahwa otoritas media harus diuji dalam bingkai etika dan hukum, bukan hanya logika bisnis atau kekuasaan. Ketiga, bahwa kita semua, sebagai bagian dari masyarakat sipil, harus terus menjaga ruang publik tetap terbuka.

Dewan Pers telah menunjukkan keberpihakan yang tepat: bukan kepada opini tertentu, tetapi kepada prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Kini giliran kita untuk bersuara. Karena jika satu tulisan kritis dicabut hari ini tanpa penjelasan, maka esok bisa jadi giliran suara kita yang dibungkam dan itu tak boleh dibiarkan. Menolak bungkam, menolak takut!

Artikel Terkait

Rekomendasi