Dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia, pemilihan umum bukan sekadar mekanisme prosedural, melainkan jantung dari kehidupan politik yang menjadi cermin dari kedaulatan rakyat. Pemilu merupakan arena tempat aspirasi publik dikristalisasi menjadi kekuasaan yang sah menurut hukum. Namun, di balik kemegahan demokrasi kepemiluan tersebut terselip kegelisahan yang semakin nyata, mengenai bagaimana suara publik dikelola dengan baik. Di tengah kompleksitas penyelenggaraan pemilu serentak yang kian sarat beban administratif dan politis, gagasan pemisahan antara pemilu pusat dan daerah muncul sebagai tawaran solutif untuk menata ulang sistem demokrasi elektoral Indonesia. Pemisahan ini tidak hanya menyangkut persoalan teknis penyelenggaraan, tetapi juga berkaitan erat dengan upaya memperkuat efektivitas representasi dan memperjelas akuntabilitas politik di setiap level pemerintahan.
Dalam konteks demokrasi modern, pemilihan umum (pemilu) berperan sebagai instrumen fundamental dalam menjamin terjadinya sirkulasi kekuasaan yang sah dan legitimasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Lebih dari sekadar proses elektoral, pemilu merupakan mekanisme evaluatif terhadap kinerja pemerintahan sebelumnya, sekaligus sarana pemberian mandat baru bagi pemegang kekuasaan selanjutnya. Melalui pemilu, rakyat tidak hanya memilih, tetapi juga menyuarakan harapan akan tata kelola pemerintahan yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kesejahteraan publik.
Membaca sistem ketatanegaraan Indonesia, keberadaan pemilu memiliki landasan konstitusional yang kuat. Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, setiap lima tahun sekali. Hal ini selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi substantif yang bertujuan menjamin keterwakilan dan akuntabilitas. Praktiknya, pemilu di Indonesia mencakup pemilihan wilayah eksekutif, yakni Presiden dan Kepala Daerah, dan pemilihan wakil-wakilnya di lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Struktur ini mencerminkan desain pemerintahan presidensial yang menuntut adanya kejelasan mandat dan pembagian kekuasaan yang tegas antara lembaga eksekutif dan legislatif, baik di tingkat nasional maupun lokal
Melalui Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Mahkamah secara progresif menafsirkan ulang ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam amar putusannya, Mahkamah menegaskan bahwa ke depan, pelaksanaan pemungutan suara untuk pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) harus diselenggarakan dalam dua tahap yang terpisah, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan antara keduanya.
Putusan ini lahir dari kekhawatiran mendalam terhadap efektivitas dan kualitas partisipasi pemilih dalam pemilu serentak lima kotak yang selama ini diterapkan. Mahkamah mencermati bahwa kompleksitas pemilu serentak yang mengharuskan pemilih memilih lima jenis jabatan politik sekaligus dalam satu hari sering kali menimbulkan kebingungan, kelelahan, serta tekanan waktu yang mengganggu ketenangan dalam proses pencoblosan. Akibatnya, pemilih cenderung terburu-buru dan kehilangan ruang reflektif yang seharusnya mendampingi pengambilan keputusan politik, sehingga mengaburkan nilai kesadaran dan pertimbangan nurani yang menjadi esensi pemilu demokratis
Dalam mendesain ulang demokrasi kepemiluan Indonesia yang mempertimbangkan kompleksitas dan risiko yang ditimbulkan dari model pemilu serentak sebelumnya, putusan Mahkamah ini hadir sebagai koreksi konstitusional yang penting dan sangat mendesak. Spirit konstitusional yang terkandung di dalamnya tidak hanya bersifat normatif, melainkan juga mencerminkan ikhtiar serius untuk menyelamatkan kualitas demokrasi elektoral Indonesia yang selama ini terjebak dalam proseduralisme semu. Putusan ini membuka jalan bagi penyelenggaraan pemilu yang lebih tertata dan berkeadilan, serta mengarahkan sistem pemilu Indonesia ke arah demokrasi yang lebih deliberatif dan substansial.
Penataan demokrasi kepemiluan sebagaimana ditafsirkan dalam putusan Mahkamah mencakup lima aspek fundamental. Pertama, mengarahkan fokus penyelenggaraan pemilu agar lebih berkualitas, tidak sekadar cepat dan serentak. Kedua, memberi ruang lebih besar bagi penyelesaian isu-isu daerah yang sering kali terpinggirkan dalam narasi politik nasional. Ketiga, mendorong proses kaderisasi partai politik yang lebih rasional dan terencana. Keempat, menjaga kejernihan dan fokus pemilih dalam menentukan pilihan politiknya, tanpa tekanan waktu dan kompleksitas pilihan yang membingungkan, dan selanjutnya kelima, berupaya meminimalisir praktik politik transaksional yang tumbuh subur dalam kondisi elektoral yang padat dan terburu-buru.
Lebih jauh, jika ditelusuri secara empirik, model pemilu serentak lima kotak yang diberlakukan sebelumnya telah menimbulkan dampak yang tidak dapat dianggap remeh. Beban tahapan yang panjang dan intensif bukan hanya menguras tenaga penyelenggara pemilu, tetapi dalam banyak kasus juga merenggut nyawa mereka yang berdedikasi menunaikan tugas konstitusionalnya. Tentu ini adalah peringatan keras bahwa efektivitas sistem tidak boleh dibangun di atas kelelahan struktural dan pengorbanan yang melampaui batas kemanusiaan. Maka dari itu, pemisahan pemilu pusat dan daerah bukan hanya soal desain ulang teknis pemilu, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dan perlindungan hak asasi dalam penyelenggaraannya
Pemungutan suara terpisah antara pemilu pusat dan lokal adalah langkah progresif dalam mengawal sendi-sendi demokrasi terutama suara pemilih, artinya rakyat tidak akan gampang memberikan suaranya kepada calon tertentu melainkan akan ada analisis yang komprehensif, pemilih akan hanya fokus pada calon Presiden dan Wakil Presiden, DPD dan DPR dalam tahun pemilu pertama, begitu pun dengan arah diskusi kepemiluan seluruh ide difokuskan untuk pembangunan nasional yang menyeluruh. Anggaran kepemiluan menjadi efektif dan efisien dengan target penggunaan yang terukur. Pemungutan suara terpisah antara pusat dan daerah merupakan penegasan dari ide awal kepemiluan yang berkualitas.
Penataan demokrasi kepemiluan melalui putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka peluang penting bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam merancang ulang regulasi pemilu, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Namun, proses revisi tersebut tidak sekadar memasukkan amar putusan Mahkamah atau menyalin pertimbangan hukum (ratio decidendi) sebagai bahan normatif semata. Ratio decidendi adalah alasan hukum utama yang menjadi dasar putusan dan mengandung prinsip konstitusional yang harus dipahami secara mendalam. Dalam konteks pembentukan norma, pembuat undang-undang wajib menafsirkan ratio decidendi ini secara kritis untuk menggali nilai-nilai fundamental yang terkandung di dalamnya, bukan sekadar mengikuti teks putusan tanpa analisis.
Hal ini penting karena ratio decidendi bersifat normatif dan menjadi sumber hukum yang hidup, yang harus diadaptasi sesuai dengan kondisi sosial-politik dan kebutuhan hukum saat ini. Pendekatan interpretatif ini sejalan dengan teori hermeneutika hukum, di mana penerjemahan prinsip-prinsip dalam putusan pengadilan harus mempertimbangkan konteks agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya formal, tetapi juga efektif dan adil secara substansial. Oleh karena itu, rekayasa konstitusional dalam revisi undang-undang pemilu harus melampaui sekadar formalitas legalistik, dengan mengintegrasikan pemahaman mendalam atas ratio decidendi untuk menciptakan norma hukum yang responsif, menjawab masalah nyata dalam sistem pemilu, dan menjaga kualitas demokrasi Indonesia secara berkelanjutan.
Selanjutnya, pembentuk undang-undang Pemerintah maupun DPR dituntut untuk secara sungguh-sungguh dan komprehensif memikirkan aspek keadilan yang menyeluruh dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. Keadilan ini tidak hanya sebatas kesetaraan dalam akses politik bagi para kontestan, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap hak-hak konstitusional seluruh pihak yang terlibat, termasuk pemilih dan penyelenggara. Regulasi yang dirancang harus mampu menjamin bahwa seluruh kontestan politik memiliki kesempatan yang setara tanpa adanya hambatan struktural maupun finansial yang memberatkan sebagian pihak secara tidak proporsional. Dengan demikian, ketimpangan biaya yang selama ini menjadi momok dalam proses politik harus dapat diminimalisir, sehingga pemilu tidak menjadi arena yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya finansial besar.
Dengan demikian, pembentuk undang-undang dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk menciptakan regulasi pemilu yang tidak hanya bersifat normatif dan teknis, tetapi juga berlandaskan prinsip keadilan substantif, yang mampu menjawab tantangan kompleksitas demokrasi Indonesia dewasa ini. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berorientasi pada keadilan, sistem kepemiluan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mewujudkan demokrasi yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

Pembelajar Ilmu Hukum Tata Negara
Aditya Andela Pratama, S.H.,M.H.













