Pembegalan yang Tidak Sesuai Prosedur, Berujung Asal Tilang!

Author PhotoDesi Sommaliagustina
20 Feb 2025
Ilustrasi Oknum Polisi (www.viva.co.id).
Ilustrasi Oknum Polisi (www.viva.co.id).

Tilang merupakan salah satu instrumen penegakan hukum dalam lalu lintas yang bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan pengguna jalan dan mencegah pelanggaran yang dapat menyebabkan kecelakaan. Dalam praktiknya, masih banyak ditemukan kasus di mana tilang dilakukan secara tidak sesuai prosedur, baik dari sisi legalitas maupun transparansi aparat kepolisian.

Baru-baru ini sering terjadi kasus yang melibatkan pengendara dan pihak kepolisian dan kasus inipun berujung viral. Dimana pihak kepolisian melakukan tindakan asal tilang (tidak sesuai prosedur). Hal itu ditandai dengan mencari-mencari kesalahan si pengendara semata.

Saat ditelusuri lebih lanjut, si pengendara tidak melakukan kesalahan. Bukti kuat “surat-surat dan kelengkapan kendaraan bermotornya tidak ada masalah sama sekali”. Ketika pengendara bertanya kesalahannya apa? Polisi memakai jurus pelimpahan kepada rekan yang lain dan ngacir. Padahal yang menstop atau melakukan pembegalan tiba-tiba aparatnya berbeda (polisi yang memproses terkait pelanggaran berbeda). Acap kali yang menjadi korban adalah perempuan dan kendaraan yang berasal dari luar daerah. Disinilah salah prosedur itu acap kali terjadi hingga berujung pungutan liar.

Kasus ini sering kali terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan hingga Kota Padang. Dalam pantauan yang terjadi, kita ambil kasus yang ada di Kota Padang. Dimana seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Padang mendapatkan penilangan tanpa prosedur yang jelas, alias pembegalan yang dilakukan oleh aparat dijalan. “Saya diberhentikan dijalan dan dituduh melanggar tanpa ada kejelasan”katanya. Hal ini bukan terjadi pada mahasiswi ini saja, malahan ada beberapa orang yang mendapatkan perlakuan dan penindakan yang sama.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh salah seorang wanita paruh baya”padahal tidak ada sama sekali saya melanggar, tiba-tiba diberhentikan dan ditilang”. Melalui kejadian ini malahan saya berpandangan polisi yang menstop ini mencari-cari kesalahan saya saja. Ketika saya tanya, apa bukti saya melanggar, malahan polisi yang memberhentikan kabur dan melimpahkan ke rekannya. Melihat fenomena yang terjadi ini, tentunya timbul pertanyaan. Bangaimana sebenarnya penindakan pelanggaran lalu lintas ini sesuai aturan hukum yang berlaku, apa dampaknya dan bangaimana solusinya?

Implementasi Hukum: Antara Dampak dan Solusi
Terkait kasus ini, selaku akademisi saya berpandangan. Dalam perspektif hukum tentunya kita sangat miris dengan kasus yang terjadi ini. Jika kita merujuk terkait aturan terhadap penindakan pelanggaran lalu lintas melalui tilang. Tentunya penindakannya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Pasal 260 ayat (1), disebutkan bahwa penindakan pelanggaran harus dilakukan oleh aparat kepolisian yang berwenang.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 memberikan pedoman tentang tata cara pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan penindakan pelanggaran lalu lintas. Dalam sistem hukum yang berlaku, mekanisme tilang juga telah mengalami digitalisasi, melalui sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) yang bertujuan mengurangi interaksi langsung antara petugas dan pelanggar guna meminimalisir potensi penyalahgunaan kewenangan.

Meskipun regulasi sudah cukup jelas, masih ada berbagai permasalahan yang sering terjadi dalam praktik tilang di lapangan: pertama, tilang yang tidak berbasis bukti jelas. Banyak pengendara yang mengeluhkan diberi tilang tanpa bukti pelanggaran yang kuat, bahkan dalam beberapa kasus, petugas tidak menjelaskan secara rinci jenis pelanggaran yang dilakukan. Seperti kasus yang terjadi kepada mahasiswi yang ada di Kota Padang.

Kedua, penyalahgunaan wewenang oleh aparat.Tidak jarang tilang dilakukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Praktik pungutan liar (pungli) dalam tilang konvensional masih sering terjadi, meskipun sudah ada upaya digitalisasi melalui ETLE. Tapi yang namanya aparat, masih ada berbagai cara untuk mensiasatinya.

Ketiga, ketidaksesuaian prosedur. Dalam beberapa kasus, petugas langsung mengambil tindakan tilang tanpa memberikan pilihan kepada pelanggar untuk menyelesaikan pelanggaran melalui pengadilan atau membayar denda sesuai ketentuan yang berlaku.

Keempat, kurangnya sosialisasi dan transparansi.Banyak masyarakat yang tidak memahami mekanisme tilang, hak mereka sebagai pengendara, serta prosedur yang harus dilalui ketika terkena tilang. Kurangnya informasi ini sering kali menyebabkan ketimpangan dalam implementasi hukum di lapangan.

Ketika tilang dilakukan secara asal dan tidak sesuai prosedur, ada beberapa dampak yang dapat terjadi, menurunnya kepercayaan publik terhadap Penegak hukum, meningkatnya potensi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hak asasi pengendara serta ketidakpastian hukum dalam penegakan peraturan lalu lintas.

Untuk menghindari pelanggaran prosedur dalam penindakan tilang, beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah langkah pertama, dengan cara melakukan peningkatan pengawasan di internal, terutama terhadap aparat kepolisian guna mencegah praktik penyalahgunaan wewenang. Langkah kedua, penguatan implementasi ETLE; agar sistem tilang lebih transparan dan berbasis bukti yang valid dan jangan asal tilang.

Langkah ketiga, memberikan sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka dalam proses tilang. Langkah terakhir yang bisa dilakukan dengan melakukan penerapan sanksi tegas bagi aparat yang terbukti melakukan tilang secara tidak prosedural atau berindikasi pungli.

Dengan perbaikan sistem dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan tilang dapat berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku, sehingga kepastian hukum dapat ditegakkan dan kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian dapat kembali terbangun. “Jangan malah memperburuk citra polisi ditengah ketidakpercayaan publik terhadap hukum, semoga”!

Artikel Terkait

Rekomendasi