Peluang KPK Memeriksa Bobby Nasution: Ujian Nyali dan Independensi

Gubernur Sumatera Utara-Boby Nasution
Gubernur Sumatera Utara-Boby Nasution

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali berada dalam sorotan publik setelah mencuatnya kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Perhatian semakin menguat ketika nama Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, ikut disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Publik pun bertanya: akankah KPK memanggil Bobby? Sejauh mana peluang pemeriksaan terhadap menantu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, ini terbuka? Dan apa implikasi hukumnya?

Meski belum ditetapkan sebagai tersangka, posisi Bobby sebagai atasan langsung Kepala Dinas PUPR Sumut sekaligus penanggung jawab tertinggi kebijakan di daerah tak bisa dipandang ringan. Apalagi, dugaan adanya relasi istimewa antara Bobby dan Topan Obaja telah menjadi sorotan. Bukan tidak mungkin, relasi kekuasaan itu membuka celah bagi praktik korupsi berjamaah, modus yang lazim dalam kasus proyek infrastruktur daerah.

Dalam banyak kasus korupsi, keterlibatan kepala daerah kerap tidak kasatmata. Ia bisa muncul dalam bentuk restu politis, intervensi tender, atau pembiaran sistemik terhadap permainan anggaran. KPK tentu tak boleh berhenti pada penetapan satu-dua tersangka teknis. Penelusuran ke arah pengambil kebijakan menjadi keniscayaan agar penyidikan tidak setengah hati.

Sedangkan dalam konteks hukum acara pidana, KPK memiliki wewenang memanggil siapa pun yang diduga mengetahui atau memiliki informasi terkait suatu tindak pidana korupsi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK (UU No. 19 Tahun 2019) yang menyebutkan bahwa KPK dapat “melakukan pemanggilan terhadap setiap orang untuk diperiksa sebagai saksi, tersangka, dan/atau terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.”

Artinya, jika KPK memandang bahwa Bobby memiliki informasi penting terkait perkara Topan Obaja atau jika ada indikasi bahwa ia menikmati atau mengetahui keuntungan dari proyek bermasalah tersebut, maka pemeriksaan terhadapnya bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga perlu dan sah secara hukum.

Sejarah mencatat bahwa independensi KPK diuji ketika harus berhadapan dengan tokoh-tokoh kuat dan berpengaruh, terutama yang berasal dari lingkar kekuasaan. Pemanggilan terhadap Bobby Nasution akan menjadi tolak ukur integritas dan keberanian lembaga anti-rasuah ini. Jika KPK menghindar dengan dalih politis atau berhenti pada aktor teknis, maka keraguan publik terhadap pelemahan lembaga ini akan makin terbukti.

Sebaliknya, jika KPK berani membuka kemungkinan pemeriksaan terhadap Bobby, ini bisa mengembalikan kepercayaan publik bahwa hukum masih bekerja dan tidak memandang siapa yang berkuasa atau siapa yang punya hubungan darah dengan mantan presiden.

Sebagai penutup, pemeriksaan terhadap seorang gubernur, apalagi yang memiliki koneksi politik nasional, memang bukan langkah ringan. Tapi ini justru menjadi alasan kenapa penegak hukum harus bertindak tegas. Jika tidak bersalah, maka Bobby punya ruang membela diri di hadapan hukum. Tetapi jika ada peran yang dimainkan, maka keadilan patut ditegakkan.

Di sisi lain, Bobby pun memiliki tanggung jawab moral untuk secara terbuka bersedia diperiksa demi menjernihkan nama baiknya dan membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam praktik kotor tersebut. Sikap kooperatif akan memperkuat citranya sebagai pemimpin daerah yang bersih.

Pemanggilan terhadap Bobby Nasution bukan semata soal hukum, tapi juga soal keberanian politik dan konsistensi pemberantasan korupsi. KPK mesti menunjukkan bahwa tidak ada yang terlalu kuat untuk disentuh hukum, bahkan jika itu adalah kerabat presiden. Transparansi, profesionalisme, dan ketegasan adalah kunci untuk mengurai benang kusut korupsi proyek infrastruktur yang kerap menjadi ladang bancakan elit daerah.

Sudah saatnya KPK menjawab keraguan publik dengan tindakan nyata. Jika Bobby memang tidak terlibat, biarkan proses hukum menjelaskan. Tetapi jika ada keterlibatan, maka rakyat berhak tahu, dan hukum wajib bicara. Bukan soal siapa, tapi soal apa yang benar.

Artikel Terkait

Rekomendasi