Penetapan Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis chromebook mengguncang publik. Sosok yang pernah dipuji sebagai ikon inovasi pendidikan digital kini harus menghadapi jeratan hukum berat. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, menyatakan penetapan ini dilakukan setelah memeriksa 120 saksi dan 4 orang ahli.
“Dari hasil pendalaman, keterangan saksi-saksi, dan juga alat bukti yang ada, pada sore dan hasil dari ekspose telah menetapkan tersangka baru dengan inisial NAM,” ujar Anang, Kamis (4/9/2025).
Nadiem disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jika terbukti, ancaman pidananya tidak ringan: minimal 4 tahun hingga 20 tahun penjara, denda miliaran rupiah, bahkan penyitaan aset.
Equality Before the Law: Prinsip yang Diuji
Kasus ini sekali lagi menguji prinsip equality before the law sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Tidak boleh ada perbedaan perlakuan antara pejabat tinggi, mantan menteri, maupun rakyat biasa ketika berhadapan dengan dugaan tindak pidana.
Namun, publik tidak lupa sejarah: banyak kasus besar berakhir antiklimaks. Ada pejabat yang dihukum ringan, ada pula kasus yang berhenti di tahap penyidikan. Karena itu, Kejagung harus membuktikan bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem bukan sekadar formalitas atau panggung politik, melainkan bagian dari komitmen serius menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Pengadaan laptop chromebook sejatinya dirancang untuk mempercepat digitalisasi sekolah. Namun, proyek bernilai besar ini berubah menjadi dugaan bancakan anggaran. Polanya bukan hal baru. Kita masih mengingat: Kasus Dana BOS yang diselewengkan oleh kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan di berbagai daerah. Kasus Laboratorium Fiktif yang merugikan negara ratusan miliar rupiah. Kasus Buku Ajar dengan praktik mark up harga hingga pengadaan ganda.
Sektor pendidikan memang selalu menggiurkan. Anggarannya besar, tersebar ke seluruh pelosok, dan sering luput dari pengawasan publik. Lemahnya transparansi, minimnya audit independen, serta kolusi antara pejabat dan penyedia barang/jasa menjadi celah subur bagi praktik korupsi.
Dimensi Etika
Nadiem dikenal sebagai menteri muda dengan citra profesional, modern, dan visioner. Ia membawa jargon Merdeka Belajar sebagai simbol reformasi pendidikan. Namun status tersangka menimbulkan konsekuensi etis yang serius. Dalam tata kelola pemerintahan, ada prinsip public accountability. Artinya, setiap pejabat publik wajib menjaga integritas, bukan hanya secara hukum, tetapi juga secara moral. Sekali tercoreng, kepercayaan publik runtuh.
Generasi muda yang semula menaruh harapan pada figur pemimpin inovatif kini berhadapan dengan kenyataan pahit: bahkan tokoh yang dianggap “bersih” pun bisa terjerat kasus korupsi. Jika ini tidak diantisipasi, publik akan semakin apatis terhadap politik dan pendidikan. Tidak bisa diabaikan, penetapan tersangka terhadap seorang mantan menteri sarat dimensi politik. Penegakan hukum di Indonesia sering kali dibaca sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Dalam teori hukum pidana berlaku asas cogitationis poenam nemo patitur—tidak seorang pun dapat dihukum karena niat, melainkan karena perbuatannya. Namun, praktiknya kerap berbeda. Kasus besar bisa dimanfaatkan untuk melemahkan kelompok tertentu, atau sekadar menjadi alat tawar-menawar politik.
Karena itu, Kejagung harus ekstra hati-hati. Proses hukum harus transparan, akuntabel, dan bebas intervensi politik. Jika tidak, publik akan menilai bahwa kasus ini hanya “sandiwara hukum” belaka. Kasus ini menimbulkan dampak sosial yang serius. Digitalisasi pendidikan yang seharusnya membawa harapan baru kini justru dipandang sinis. Orang tua dan guru khawatir program serupa hanyalah proyek yang berujung korupsi.
Ketidakpercayaan publik ini berbahaya. Jika masyarakat kehilangan keyakinan pada pemerintah, maka setiap kebijakan baru akan dipandang dengan curiga. Akibatnya, program yang sebenarnya baik akan terhambat karena trauma kolektif terhadap kasus korupsi.
Reformasi Pengadaan Pendidikan
Agar kasus ini tidak berulang, ada beberapa langkah penting: Pertama, transparansi digital. Seluruh pengadaan barang dan jasa harus dipublikasikan secara terbuka: harga, spesifikasi, vendor, hingga distribusi. Kedua, audit independen. Tidak cukup hanya dengan pengawasan internal. Perlu audit oleh BPK, BPKP, dan bahkan melibatkan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi.
Ketiga, partisipasi publik. Guru, orang tua, dan komunitas pendidikan perlu dilibatkan dalam mengawasi distribusi barang agar benar-benar sampai ke tangan siswa. Keempat, revisi regulasi. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus diperkuat agar lebih menekankan aspek pencegahan korupsi, bukan sekadar prosedural administratif.
Korupsi di sektor pendidikan adalah bentuk pengkhianatan konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Maka, setiap rupiah anggaran pendidikan yang dikorupsi sama artinya dengan merampas hak jutaan anak bangsa untuk belajar.
Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN, potensi penyalahgunaan dana sangat besar. Jika tidak ada pembenahan serius, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa hanya tinggal retorika. Kasus Nadiem Makarim bukan sekadar perkara hukum seorang mantan menteri. Ia adalah cermin retak dari wajah pendidikan kita. Ia juga menjadi ujian serius bagi lembaga penegak hukum: apakah mampu menegakkan keadilan secara transparan, atau justru menambah daftar panjang drama politik hukum di negeri ini.
Korupsi chromebook harus menjadi momentum perbaikan sistem, bukan sekadar tontonan publik. Pendidikan adalah masa depan bangsa, dan korupsi di sektor ini adalah bentuk kejahatan paling keji: merampas hak generasi yang belum lahir. Publik kini menunggu, apakah hukum benar-benar tegak tanpa pandang bulu, atau kembali runtuh di hadapan kekuasaan dan kepentingan politik.
Korupsi di dunia pendidikan tidak hanya mencoreng integritas negara, tetapi juga merampas harapan anak-anak Indonesia. Dan pertanyaan paling penting: apakah kita serius belajar dari kasus ini, atau hanya akan mengulanginya dengan proyek yang berbeda nama, tetapi tetap sama aroma? Atau ada lagi sang mantan yang menyusul?
Desi Sommaliagustina












