Kasus pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (Rutan KPK) yang melibatkan eks Kepala Rutan hingga petugas kebersihan (OB) telah mencoreng integritas lembaga yang seharusnya menjadi benteng pemberantasan korupsi di Indonesia. Ironisnya, praktek korupsi yang terjadi di lingkungan lembaga antikorupsi ini mengindikasikan adanya persoalan sistemik yang perlu segera diatasi, baik dari aspek hukum, pengawasan, maupun budaya organisasi.
Kasus ini terungkap ketika penyidik internal KPK menemukan adanya aliran dana yang diberikan oleh para tahanan kepada petugas Rutan. Praktik pungli ini mencakup berbagai fasilitas yang diberikan kepada tahanan, seperti akses ke perangkat komunikasi, kamar yang lebih nyaman, dan kemudahan dalam mendapatkan barang-barang tertentu. Dugaan ini melibatkan berbagai level pegawai, mulai dari kepala rutan hingga office boy (OB), yang seharusnya berada pada posisi paling rendah dalam struktur hierarki.
Kasus pungli di rutan KPK ini bukan hanya masalah pelanggaran hukum semata, tetapi juga merupakan pukulan telak bagi kredibilitas institusi. Bagaimana mungkin publik dapat mempercayai KPK dalam memberantas korupsi di tingkat nasional jika di dalam lembaganya sendiri terdapat praktik-praktik korupsi? Kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak revisi UU KPK, kini semakin dipertanyakan dengan adanya skandal ini. Lebih jauh, kasus ini mengancam legitimasi moral KPK dalam melakukan penindakan. KPK seringkali menempatkan diri sebagai lembaga yang bersih dan tegas dalam penegakan hukum. Namun, adanya kasus ini menunjukkan bahwa masalah integritas dapat terjadi di mana saja, termasuk di lembaga yang memiliki mandat utama untuk memberantas korupsi.
Secara hukum, kasus ini menunjukkan adanya kegagalan serius dalam mekanisme pengawasan internal di KPK. Sebagai lembaga penegakan hukum yang independen, KPK seharusnya memiliki standar pengawasan dan sistem kontrol yang ketat. Namun, fakta bahwa pungli dapat terjadi secara sistemik hingga melibatkan banyak pihak menunjukkan bahwa ada kelemahan mendasar dalam prosedur operasional standar (SOP) serta mekanisme audit internal.
Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan pungli ini jelas melanggar Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap pejabat yang menerima hadiah atau janji yang berkaitan dengan jabatannya dapat dijatuhi hukuman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Dengan demikian, para pelaku dalam kasus ini berpotensi menghadapi ancaman pidana yang serius.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya reformasi pengawasan, baik di level institusi KPK maupun lembaga penegak hukum lainnya. Ada beberapa langkah kebijakan yang perlu dipertimbangkan: pertama, KPK harus segera memperbaiki sistem audit internal dan memperkuat pengawasan terhadap pegawai, termasuk di rutan. Ini dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi pengawasan yang lebih modern, seperti CCTV dengan sistem pemantauan otomatis. Kedua, selain pengawasan teknis, perlu ada reformasi budaya organisasi yang mengutamakan integritas dan transparansi. Pendidikan antikorupsi bagi pegawai, termasuk yang berada di level rendah seperti OB, harus diperkuat. Ketiga, Dewan Pengawas KPK sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan perlu lebih aktif dalam melakukan inspeksi mendadak dan audit terhadap seluruh operasional, termasuk rutan. Evaluasi berkala terhadap SOP rutan KPK perlu dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada celah bagi terjadinya praktik pungli.
Mengatasi masalah pungli di Rutan KPK tidak cukup hanya dengan menangkap dan memproses hukum para pelaku. Solusi jangka panjang yang lebih sistemik dibutuhkan untuk menghindari terulangnya kasus serupa di masa depan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah implementasi sistem whistleblower yang lebih efektif, di mana pegawai yang melihat atau mengetahui adanya praktik pungli dapat melaporkannya tanpa takut akan intimidasi atau retaliasi. Selain itu, KPK perlu mencontoh praktik terbaik dari lembaga antikorupsi di negara lain yang berhasil menciptakan lingkungan bebas korupsi melalui penguatan integrity compliance programs. Program ini menekankan pada integritas pegawai dengan menerapkan kode etik yang ketat, pengawasan berlapis, serta insentif bagi pegawai yang menunjukkan integritas tinggi.
Kasus pungli di Rutan KPK adalah sinyal alarm yang menunjukkan adanya krisis integritas di lembaga penegakan hukum yang seharusnya menjadi simbol perjuangan melawan korupsi. Kejadian ini harus menjadi titik balik bagi KPK untuk melakukan introspeksi dan reformasi menyeluruh, terutama dalam pengawasan internal. Hanya dengan langkah konkret dan komitmen yang kuat, KPK dapat memulihkan kepercayaan publik dan kembali menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.