Kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet (Seskab) Mayor Infanteri Teddy Indra Wijaya menjadi Letnan Kolonel (Letkol) tanpa melalui pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan terhadap prosedur standar dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Biasanya, untuk kenaikan pangkat dari Mayor ke Letkol, seorang perwira diwajibkan mengikuti pendidikan Seskoad sebagai bagian dari pengembangan karier dan peningkatan kompetensi.
Berdasarkan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Nomor 21 Tahun 2019 tentang Kepangkatan Prajurit TNI AD, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk kenaikan pangkat dari Mayor ke Letkol. Pertama, Masa Dinas Penugasan (MDP). Perwira harus memiliki MDP minimal 16 tahun untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat reguler. Kedua, pendidikan Militer. Lulusan Seskoad atau pendidikan setara merupakan prasyarat penting untuk kenaikan pangkat ke Letkol. Apakah adanya indikasi surat sakti dari istana dilayangkan untuk kenaikan pangkat ini?
Indikasi “Surat Sakti” dalam Kenaikan Pangkat
Isu adanya “surat sakti” ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi dalam sistem promosi di institusi militer dan pemerintahan. Jika benar ada intervensi dari lingkaran kekuasaan, apakah ini mencerminkan praktik yang sehat dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita?
Istilah “surat sakti” merujuk pada surat rekomendasi atau perintah yang dikeluarkan oleh pihak berpengaruh untuk mengatur atau mempercepat suatu proses, sering kali di luar prosedur yang seharusnya. Dalam konteks hukum administrasi negara, praktik ini dapat berbenturan dengan prinsip good governance yang mengutamakan objektivitas dan prosedur yang sah.
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ketentuan dalam institusi militer, kenaikan pangkat seharusnya berbasis penilaian kinerja, senioritas, dan kebutuhan organisasi. Jika ada intervensi yang tidak sah dalam mekanisme tersebut, ini berpotensi melanggar asas keterbukaan, profesionalitas, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Jika dugaan penggunaan “surat sakti” benar terjadi, ada beberapa dampak hukum dan etika yang patut dipertimbangkan: pertama, maladministrasi.Jika kenaikan pangkat Mayor Teddy dilakukan tanpa mengikuti prosedur resmi, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai maladministrasi yang melanggar hukum administrasi negara. Ombudsman dapat melakukan pemeriksaan terkait dugaan penyalahgunaan wewenang.
Kedua, pelanggaran pinsip meritokrasi. Meritokrasi menekankan bahwa promosi harus diberikan berdasarkan kapabilitas dan prestasi, bukan atas dasar kedekatan dengan kekuasaan. Jika sistem meritokrasi dikorbankan, ini dapat menurunkan moral para perwira yang telah bekerja keras sesuai prosedur.
Ketiga, potensi penyalahgunaan kekuasaan. Jika benar ada campur tangan pihak eksekutif dalam kenaikan pangkat ini, maka ada indikasi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi sistem birokrasi kita.
Kenaikan pangkat dalam institusi negara haruslah berdasarkan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas Jika “surat sakti” digunakan untuk memuluskan karier individu tertentu tanpa proses yang benar, maka ini bukan hanya masalah etik, tetapi juga persoalan hukum yang serius.
Kasus Mayor Teddy Indra Wijaya
Mayor Teddy Indra Wijaya, yang menjabat sebagai Seskab, mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Letkol berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/238/II/2025 tanggal 25 Februari 2025 tentang Penetapan Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP). Kenaikan pangkat ini menimbulkan pertanyaan karena tidak melalui jalur pendidikan Seskoad yang biasanya diwajibkan.
Dalam sistem kepangkatan militer, pendidikan seperti Seskoad dirancang untuk memastikan bahwa perwira yang naik pangkat memiliki kompetensi dan kesiapan untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Pengecualian terhadap prosedur standar tanpa alasan yang jelas dapat menimbulkan persepsi negatif dan mempengaruhi moral serta disiplin di kalangan prajurit.
Namun, peraturan juga memberikan ruang bagi pimpinan tertinggi, dalam hal ini Panglima TNI, untuk memberikan kenaikan pangkat percepatan berdasarkan pertimbangan tertentu. Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan (KPRP) dapat diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan organisasi dan prestasi individu. Kadispen TNI AD Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menegaskan bahwa kenaikan pangkat Mayor Teddy sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan didasarkan pada surat keputusan Panglima TNI.
Meskipun secara normatif pendidikan Seskoad merupakan prasyarat untuk kenaikan pangkat dari Mayor ke Letkol, peraturan memberikan kewenangan kepada Panglima TNI untuk memberikan kenaikan pangkat percepatan dengan pertimbangan tertentu. Dalam kasus Mayor Teddy Indra Wijaya, kenaikan pangkat tersebut telah mendapatkan persetujuan resmi dari Panglima TNI dan dianggap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, untuk menjaga transparansi dan kepercayaan publik, penting bagi institusi militer untuk menjelaskan secara terbuka alasan dan pertimbangan dibalik keputusan tersebut.
Maka dari itu prinsip hukum yang adil harus dijunjung tinggi, agar sistem administrasi dan birokrasi kita tetap kredibel serta dapat dipercaya oleh masyarakat. Jika tidak, kepercayaan terhadap institusi negara akan terus tergerus oleh praktik-praktik yang tidak sehat. Inilah salah satu alasan kenapa Dwi Fungsi ditubuh TNI/Polri itu harus ditolak!