Pak Wako, Tawuran Kembali Terjadi. Bagaimana Ini?

Author PhotoDesi Sommaliagustina
20 Apr 2025
615100992409e

Tawuran antar remaja kembali pecah di Kota Padang. Kali ini, Kamis dini hari, 17 April 2025 sekitar pukul 03.00 WIB, sekelompok remaja terekam CCTV terlibat bentrok brutal di Jalan By Pass Km 10, RT 01/RW 01, Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji. Aksi itu tak hanya melibatkan senjata tajam, tetapi juga menciptakan ketakutan di tengah warga yang seharusnya beristirahat dengan tenang. Publik pun bertanya, Pak Wali Kota Padang, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Peristiwa ini bukan yang pertama, dan tampaknya tidak akan menjadi yang terakhir jika kita terus menerus membiarkan kota ini dikuasai oleh budaya kekerasan. Pemerintah Kota seakan gamang, bahkan diam, seolah kekerasan remaja adalah sesuatu yang ‘biasa saja’ dan tidak memerlukan intervensi yang serius dan sistemik. Padahal, jika kita mengacu pada asas tanggung jawab negara dalam hukum tata negara modern, maka kepala daerah tidak bisa mencuci tangan atas kekacauan sosial yang terjadi di wilayah kekuasaannya.

Tanggung Jawab Pemerintah Daerah, Jangan Salahkan Anak Saja

Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 12 huruf a secara tegas menyatakan bahwa urusan wajib pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi pendidikan, ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Artinya, kepala daerah—termasuk wali kota—memiliki mandat hukum untuk menjaga keamanan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan remaja.

Tawuran remaja jelas merupakan pelanggaran ketertiban umum dan menjadi indikator lemahnya fungsi pengawasan, pembinaan, serta minimnya pendekatan preventif yang dijalankan pemerintah daerah. Lebih jauh, dalam konteks perlindungan anak, UU No. 35 Tahun 2014 (Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002) menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan perlindungan anak, termasuk dari kekerasan antarsesama anak.

Terlalu mudah bagi publik dan otoritas untuk menyalahkan remaja pelaku tawuran. Padahal, dalam konstruksi hukum perlindungan anak, negara, pemerintah daerah, keluarga, sekolah, dan masyarakat—semuanya memikul tanggung jawab kolektif. Maka, ketika anak-anak melakukan kekerasan, yang gagal bukan hanya si anak, melainkan sistem yang membentuk dan membiarkannya.

Kita patut bertanya: di mana satuan perlindungan anak di tingkat kelurahan? Apa yang dilakukan Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial? Bagaimana peran Satpol PP dalam merespons potensi kerawanan dini hari? Apakah program remaja Pemko Padang masih sekadar formalitas? Ketika semua itu tak terjawab, maka keheningan institusi sama bahayanya dengan kekerasan di jalanan.

Kota yang Gagal Mendidik

Sosiolog Richard Sennett pernah mengatakan bahwa kota yang gagal memberikan ruang aman dan produktif bagi warganya adalah kota yang kehilangan maknanya. Kota Padang, jika tidak segera dibenahi, bisa menjadi kota yang membiarkan anak-anaknya belajar kekerasan sebagai bahasa sehari-hari. Sekolah tidak ramah, keluarga apatis, dan negara diam. Komplet sudah.

Maka, Pak Wali Kota tidak bisa sekadar mengimbau atau mengungkapkan perasaan kekecewaan semata setelah kejadian. Dibutuhkan kebijakan yang konkret: bangun pusat rehabilitasi remaja berbasis komunitas, aktifkan patroli sosial oleh gabungan RT/RW, aparat kelurahan, dan tokoh masyarakat, serta wajibkan sekolah melaporkan dan memfasilitasi mediasi dini terhadap potensi konflik pelajar. Jangan lupakan pembinaan keluarga melalui kelas pengasuhan dan konseling berbasis kecamatan.

Kota yang tidak mampu menjaga anak-anaknya dari kekerasan adalah kota yang gagal. Dan pemerintah daerah yang membiarkan itu terjadi adalah pemerintah yang kehilangan legitimasi moralnya. Maka, Pak Wali Kota Padang, ini waktunya bertindak. Jangan tunggu korban berjatuhan. Jangan tunggu video berikutnya viral di media sosial. Karena setiap tumpah darah anak bangsa di jalanan adalah cermin kegagalan kebijakan publik kita sendiri.

Artikel Terkait

Rekomendasi