Pagar di Lautan, Istana yang Amnesia

Author PhotoDesi Sommaliagustina
25 Jan 2025
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Terkait Pagar Laut Tanggerang (Sumber Gambar: Kompas.com)
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Terkait Pagar Laut Tanggerang (Sumber Gambar: Kompas.com)

Publik dikejutkan oleh pemasangan pagar di lautan Tangerang yang membatasi akses masyarakat pesisir terhadap laut yang selama ini menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Pagar tersebut memunculkan berbagai pertanyaan, baik dari segi legalitas, moralitas, maupun dampak sosial yang ditimbulkan. Ironisnya, di tengah polemik ini, pemerintah pusat tampaknya “amnesia” terhadap tanggung jawabnya dalam melindungi kepentingan rakyat kecil yang bergantung pada laut sebagai sumber kehidupan.

Dalam hukum Indonesia, laut adalah milik publik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah sumber daya bersama yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk kepentingan masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Pemasangan pagar di laut, yang diduga dilakukan oleh pihak swasta atau korporasi, mencederai prinsip ini. Selain menghalangi akses nelayan tradisional, tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum jika tidak memiliki izin resmi yang sesuai dengan aturan perundang-undangan. Bahkan jika izin tersebut ada, moralitas kebijakan semacam ini patut dipertanyakan, mengingat dampaknya terhadap masyarakat adat dan nelayan lokal.

Laut merupakan sumber kehidupan bagi banyak masyarakat pesisir di Tangerang. Dengan adanya pagar yang membatasi akses ke laut, nelayan kecil kehilangan mata pencaharian mereka, sementara pihak yang memasang pagar tersebut kemungkinan besar pengembang atau perusahaan besar justru memperoleh keuntungan dari penguasaan ruang publik.

Kejadian ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang semakin memperparah ketidakadilan sosial. Nelayan, yang sudah berada dalam posisi rentan, kini semakin terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak memihak kepada mereka.

Istana yang Amnesia
Peran pemerintah pusat sebagai pelindung kepentingan publik dipertanyakan dalam kasus ini. Mengapa negara seolah “amnesia” terhadap tanggung jawabnya? Seharusnya, pemerintah hadir untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak merugikan masyarakat kecil.

Ketidakadilan seperti ini mencerminkan lemahnya implementasi prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi dasar pengambilan kebijakan di Indonesia. Pemerintah tidak hanya perlu menegakkan aturan hukum, tetapi juga harus memastikan bahwa kebijakan pembangunan tidak mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan segelintir elite.

Pemerintah daerah dan pusat harus segera turun tangan untuk mengevaluasi legalitas pagar tersebut. Jika terbukti melanggar hukum, langkah tegas berupa pembongkaran pagar harus dilakukan. Selain itu, perlu adanya regulasi yang lebih ketat terhadap penguasaan ruang laut oleh pihak swasta, termasuk memperkuat peran masyarakat dalam pengawasan pengelolaan wilayah pesisir.

Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa pembangunan harus selalu berpihak pada rakyat kecil. Istana, sebagai simbol kekuasaan negara, harus hadir dengan kebijakan yang adil dan pro-rakyat, bukan sekadar menjadi penonton dalam polemik seperti ini.

Akhirnya, pagar di lautan Tangerang adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan kepentingan pembangunan dan keadilan sosial. Tanpa keberpihakan yang jelas kepada rakyat, negara berisiko kehilangan esensi dari tugas utamanya, melindungi dan memakmurkan seluruh warga negara.

Artikel Terkait

Rekomendasi