Operasi Tangkap Tangan Hakim PN Surabaya, Bukti Jual Beli Hukum dan Keadilan yang Terabaikan

Author Photoportalhukumid
29 Oct 2024
Themis goddess sculpture isolated on white background. Lady justice with scales and sword in hands. Judiciary symbol. Vector illustration.
Themis goddess sculpture isolated on white background. Lady justice with scales and sword in hands. Judiciary symbol. Vector illustration.

Pembatalan vonis bebas bagi Ronald Tannur oleh Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi menjadi sorotan tajam setelah tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani kasus tersebut ditangkap Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam operasi tangkap tangan karena dugaan penerimaan suap. Penangkapan ini menjadi tanda bahwa integritas lembaga peradilan di Indonesia masih rentan terhadap praktik-praktik koruptif. Para hakim yang terlibat diduga menerima suap pada 23 Oktober, hari yang sama ketika MA mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa dan mengubah putusan bebas menjadi hukuman penjara bagi Ronald Tannur, putra dari seorang mantan anggota DPR.

Vonis bebas yang diberikan kepada Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Dini Sera Afriyanti, telah memicu kecurigaan publik sejak awal karena dianggap mengabaikan fakta persidangan yang kuat. Ketiga hakim yang mengeluarkan putusan kontroversial ini adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo. Pakar hukum dari Universitas Surabaya, Suhartati, menyoroti bahwa berbagai bukti dan kesaksian ahli dalam persidangan sebenarnya sudah cukup jelas menunjukkan keterkaitan terdakwa dengan peristiwa tragis tersebut. Keputusan para hakim untuk mengesampingkan bukti ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang seharusnya mereka junjung tinggi.

Setelah operasi tangkap tangan dilakukan, Kejaksaan menemukan barang bukti berupa uang tunai bernilai miliaran rupiah serta dokumen yang menunjukkan adanya transaksi suap antara pengacara terdakwa dan para hakim. Menurut Suhartati, para pelaku yang terlibat dalam kasus ini bisa dikenai pasal suap dan gratifikasi sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga membuka mata publik akan adanya praktik jual beli perkara yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kehakiman.

Suhartati menambahkan bahwa peristiwa ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi lembaga peradilan dalam menjaga profesionalitas aparatnya. Ia mendesak agar MA melakukan langkah tegas untuk menegakkan kembali integritas institusi peradilan dengan menindak tegas semua bentuk korupsi di lingkungan pengadilan. Sistem peradilan yang kuat, menurutnya, tidak cukup hanya memiliki aturan formal; lebih penting lagi adalah membangun mentalitas anti-korupsi di antara para penegak hukumnya. Tanpa pembenahan mentalitas ini, kasus suap dan jual beli perkara akan terus merongrong upaya reformasi peradilan yang telah berjalan lebih dari dua dekade di Indonesia.

Di sisi lain, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menyoroti bahwa kasus penangkapan hakim karena suap menunjukkan betapa budaya korupsi masih mengakar kuat di dalam institusi kehakiman. Meskipun reformasi telah digulirkan, Herlambang menyatakan bahwa korupsi dalam bentuk suap atau perdagangan perkara tampaknya masih sulit untuk diberantas sepenuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi yang ada selama ini belum cukup efektif dalam menciptakan sistem yang dapat menahan godaan korupsi bagi aparat penegak hukum.

Di tengah dinamika ini, warga Surabaya seperti Robertus menyuarakan keprihatinannya. Ia merasa kecewa dan prihatin melihat bahwa hukum di Indonesia tampak lebih berpihak pada mereka yang memiliki uang atau kekuasaan. Menurutnya, ketidakadilan seperti ini justru menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan memperkuat anggapan bahwa hukum lebih sering digunakan untuk menekan golongan lemah. Robertus berharap agar kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi para penegak hukum untuk benar-benar menjunjung tinggi keadilan tanpa pandang bulu.

Menanggapi peristiwa ini, Mahkamah Agung melalui juru bicaranya, Yanto, menyatakan akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Yanto menekankan bahwa MA tetap mengutamakan asas praduga tidak bersalah bagi ketiga hakim yang terlibat. Namun, jika nantinya mereka terbukti bersalah melalui putusan yang berkekuatan tetap, maka mereka akan berpotensi dikenai sanksi pemecatan permanen. Pernyataan ini menjadi sinyal bahwa MA berkomitmen untuk tidak mentolerir tindakan koruptif dalam lembaganya, meskipun pada saat yang sama mereka tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan objektivitas dalam penegakan hukum.

Secara keseluruhan, kasus ini menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi oleh lembaga peradilan di Indonesia dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik. Kejadian ini menunjukkan pentingnya pembenahan sistem dan mentalitas anti-korupsi yang lebih kuat dalam tubuh peradilan, guna memastikan bahwa keadilan bukanlah barang dagangan, tetapi hak yang harus dinikmati oleh setiap warga negara.

Sumber:
https://www.voaindonesia.com/a/ott-hakim-pn-surabaya-bukti-hukum-diperdagangkan-dan-jauh-dari-keadilan/7842270.html

Artikel Terkait

Rekomendasi