Langkah Indonesia dalam mendorong prinsip non-penghukuman (non-punishment principle) terhadap korban perdagangan manusia melalui panduan bersama negara-negara ASEAN layak diapresiasi. Panduan tersebut diluncurkan di Jakarta pada awal pekan ini, dengan pernyataan tegas dari Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, yang menyebut prinsip ini bukan sekadar panduan teknis, melainkan simbol komitmen kawasan terhadap hak asasi manusia dan semangat keadilan restoratif.
Pernyataan ini seolah ingin menegaskan bahwa pendekatan hukum pidana terhadap kejahatan perdagangan manusia harus mengalami perubahan mendasar: dari pendekatan berbasis penghukuman, menuju pendekatan yang berfokus pada pemulihan korban. Ini bukan soal belas kasihan, melainkan pengakuan hukum bahwa banyak korban yang justru dijadikan pelaku dalam sistem hukum pidana kita.
Perdagangan manusia merupakan salah satu kejahatan transnasional yang paling kompleks. Ia menyasar mereka yang rentan: perempuan, anak-anak, orang miskin, penyintas kekerasan, hingga pekerja migran tak berdokumen. Bentuknya pun beragam, mulai dari eksploitasi seksual, kerja paksa, hingga perdagangan organ tubuh.
Namun di banyak kasus, korban justru dikriminalisasi karena tindakan yang dilakukan di bawah tekanan atau dalam situasi eksploitasi. Seorang perempuan muda yang dipaksa menjadi pekerja seks, misalnya, bisa dikenai pasal tindak asusila. Buruh migran yang diperdagangkan ke luar negeri tanpa dokumen seringkali dihukum atas pelanggaran keimigrasian. Dalam konstruksi hukum pidana konvensional, korban semacam ini tidak dilihat sebagai pihak yang harus dilindungi, melainkan sebagai pelanggar hukum.
Padahal, berdasarkan hukum internasional, situasi tersebut semestinya menjadi pertimbangan utama dalam perlindungan korban. Prinsip non-penghukuman telah diakui dalam United Nations Trafficking in Persons Protocol (2000), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009. Sayangnya, implementasinya masih terbatas. Banyak korban yang tidak teridentifikasi, tidak mendapatkan layanan pemulihan, dan bahkan mengalami reviktimisasi di ruang hukum.
Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, undang-undang ini belum secara eksplisit menjamin prinsip non-penghukuman. Artinya, aparat penegak hukum masih memiliki ruang untuk menjerat korban jika mereka dianggap melakukan pelanggaran pidana, meskipun dilakukan dalam konteks eksploitasi.
Ketiadaan aturan teknis dan lemahnya pelatihan terhadap aparat menjadi penghambat utama. Dalam sejumlah kasus yang ditangani LSM atau pendamping korban, banyak korban tidak diperlakukan sebagai korban, tetapi sebagai pelaku atau setidaknya sebagai “tersangka potensial.” Hal ini menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap relasi kuasa dalam tindak pidana perdagangan orang.
Untuk itu, perlu segera disusun peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur mekanisme penerapan prinsip non-penghukuman. Selain itu, pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan petugas imigrasi menjadi keniscayaan agar prinsip ini tidak hanya berhenti di atas kertas.
Keadilan Restoratif dan Perspektif Korban
Pendekatan keadilan restoratif menempatkan korban sebagai pusat dari proses hukum. Prinsip ini bertolak dari kenyataan bahwa dalam banyak kejahatan—terutama yang bersifat eksploitasi seperti perdagangan manusia—korban mengalami trauma yang mendalam. Tindakan yang mereka lakukan dalam konteks perdagangan bukanlah tindakan yang lahir dari kehendak bebas, melainkan dari paksaan, ancaman, dan ketergantungan total pada pelaku.
Dalam konteks ini, menghukum korban berarti menambah luka dan mengabaikan prinsip dasar keadilan. Prinsip non-penghukuman adalah pintu masuk untuk membangun sistem hukum yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga menyembuhkan korban.
Langkah ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan berbagai organisasi masyarakat sipil. Mereka telah lama mendorong reformasi sistem peradilan pidana agar lebih humanis dan berpihak pada kelompok rentan.
ASEAN, yang kerap dianggap lamban dalam isu-isu hak asasi manusia, melalui panduan ini menunjukkan langkah maju. Namun, panduan bersama ini tetap memerlukan mekanisme implementasi yang jelas dan akuntabel di masing-masing negara anggota. Jika tidak, maka ia akan menjadi dokumen normatif tanpa kekuatan nyata untuk mengubah keadaan.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah kasus perdagangan orang yang tinggi, memiliki tanggung jawab lebih. Tidak cukup hanya menjadi tuan rumah peluncuran dokumen, Indonesia harus menjadi teladan dalam pelaksanaan prinsip ini. Itu berarti pembenahan regulasi, reformasi penegakan hukum, serta penguatan sistem pemulihan bagi korban.
Komisi HAM ASEAN (AICHR) juga perlu didorong untuk berperan lebih aktif dalam memantau dan mengevaluasi penerapan prinsip ini. Transparansi, partisipasi masyarakat sipil, dan akuntabilitas pemerintah menjadi kunci agar panduan ini benar-benar berdampak.
Hukum seharusnya menjadi alat perlindungan, bukan alat reviktimisasi. Prinsip non-penghukuman bukanlah bentuk impunitas, tetapi upaya untuk mengembalikan martabat manusia yang telah dirampas oleh kekerasan dan eksploitasi. Ia merupakan fondasi bagi pemulihan korban, mulai dari rehabilitasi psikologis, kompensasi, hingga reintegrasi sosial.
Dengan menjadikan prinsip ini sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, Indonesia tidak hanya menunjukkan komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia, tetapi juga meletakkan dasar bagi keadilan yang berpihak pada mereka yang selama ini tak bersuara.
Hukum yang adil bukanlah hukum yang menghukum setiap pelanggaran, tetapi hukum yang mampu membedakan siapa yang layak dihukum dan siapa yang harus dipulihkan.